Selasa

Lelaki dengan Kopia Resam

TIGA jam sudah berlalu, jet foil yang membawaku baru saja merapat di pelabuhan Muntok. Di sudut pulau, terlihat jelas sebuah mercusuar yang masih nampak gagah menatap setiap kapal yang hendak singgah. Ia seolah penjaga tua yang enggan dianggap renta..

“Uhs..shh!” kutarik nafas panjang sembari memperbaiki posisi duduk. Penatnya perjalanan tak begitu kurasakan. Semuanya terkalahkan oleh kerinduanku pada emak, bapak, dan adik Tyo yang masih kelas enam SD. Bagaimana tidak dua tahun bukan waktu yang singkat. Dan selama kurun waktu itu, aku benar-benar tumbuh bersama keras hari-hari didaratan – menuntut ilmu dan bekerja untuk membiayai kuliah.

Moncong jet foil mulai mencium pembatas dermaga, dan langsung disambut belasan laki-laki berseragam. Mereka dengan tergesa naik ke dek kapal, berebut menawarkan jasa angkut barang. Aku masih belum beranjak dari kursi. Pandangan kini kuarahkan pada bibir dermaga. Beberapa mobil minibus Mitsubishi L300 berjejer, siap menjemput penumpang yang akan meneruskan perjalanan ke kota lain.

”Maaf bang, ada barang?” Tanya seorang buruh angkut membuyarkan lamunanku.

”Ada.” jawabku sembari menyerahkan karcis pas barang.

”Tiga koli.” lanjutku. Buruh bertubuh gempal dengan mengenakan celana setengah tiang itu kemudian berlalu. Sementara aku mulai keluar dari kapal.

Siang itu, matahari begitu menyengat dan memaksaku menanggalkan jaket pemberian bapak satu tahun silam – sebagai kado ulang tahun. Sambil menunggu buruh mengambil barang. Aku berjalan ditepian dermaga yang panjangnya tak lebih dari lima puluh meter. Disepanjang dermaga penuh sesak dengan penumpang, para penjemput, kuli pelabuhan sampai para tukang ojek. Belum lagi ditambah kapal pengangkut barang di kanan dermaga yang juga sedang melakukan kegiatan bongkar muat. Semuanya membaur menjadi satu di pelabuhan yang konon usianya telah lebih dari dua ratus tahun.

Bang, pulang ke mane?” sekali lagi buruh angkut membuyarkan lamunanku.

”Ke Sungailiat!” jawabku singkat. Tak banyak yang kulakukan setelah itu. Selain melepaskan kembali pandangan ke setiap sudut pelabuhan. Barangkali tak banyak yang tahu akan keberadaan dermaga yang dibangun pada masa pemerintahan tuan-tuan Inggris, sekitar 1812-1816.

”Muntok adalah pelabuhan pertama yang dibangun di Bangka. Pemerintah Inggris melihat posisi kota Mentok yang terletak di pantai selatan Pulau Bangka bagian barat sangat strategis, karena langsung berhadapan dengan Palembang.” begitu kata pak Taufik guru sejarah SMA dulu.

Sesaat kemudian aku telah berada di ujung demaga. Posisi pelabuhan kecil ini begitu tersembunyi di dalam teluk, tentunya menguntungkan bagi kapal-kapal untuk berlindung dari ombak musim barat dan musim utara. ”Mungkin inilah yang sempat membuat Thomas Stanford Raffles kecewa ketika pemerintah Inggris menyerahkan Bangka kepada Belanda sebagai bagian dari perjanjian Traktat London ratusan tahun silam.” pikirku kemudian.

”Sudah lama tidak pulang ya?” tiba-tiba dari belakang datang suara mengejutkan perjalanan otak.

Hanya anggukan yang kuberikan, lelaki itupun tersenyum dan mendekat. ”Dulu diujung dermaga ini ada sebuah jembatan yang menjorok ke laut. Penumpang kapal-kapal besar biasa naik-turun menggunakan jembatan itu ke kapal yang lego jangkar di perairan.” lelaki tadi dengan santainya mulai bercerita tanpa diminta.

”Anak muda seperti dirimu sudah cukup sering kutemui di sini, yah sama seperti yang kau lakukan sekarang.”

Lelaki itupun terdiam sejurus kemudian. Sembari membenarkan letak kopiah resam yang menutupi rambut uban, dari bibir tuanya mulai bertutur lagi.

”Namun, jembatan itu rusak berat akibat dibom Jepang. Pada tahun 1949, sesaat sebelum penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik, sisa jembatan besi tersebut dibongkar seluruhnya oleh Belanda.”

”Ehm....Uhs....dan yang tersisa, seperti yang kau lihat sekarang. Hanyalah kolam pelabuhan seluas dua hektar dengan kedalaman air antara tiga sampai empat meter.”

”Bangka sesungguhnya membentang dari dua hingga tiga derajat ke arah timur. Kau pasti telah mengunjungi pulau itukan?” tanya pak tua.

”Sumatera?” jawabku.

”Gagah betul pulau ini dengan membentuk sebuah selat kecil. Ramai kapal berlayar dari Jawa maupun Sumatera menuju Eropa, Tiongkok, dan Jepang. Ia menjadi bagian penting dalam catatan sejarah pelayaran Nusantara yang hampir-hampir tak pernah mau dicatat.”

Aku terdiam dan semakin mendekat pak tua yang terus berceloteh seperti pelajaran sejarah.

”Tak hanya Timah atau pun Lada Putih yang tiap hari keluar pelabuhan ini, tetapi gadis-gadis cantik berparas melayu ikut mereka bawa dan para cukong hanya tertawa dipinggiran dermaga.”

Kubalikan tubuh dan menghadap sisi lain dari lelaki tua tadi, aku masih ingat cerita tentang bijih timah yang mendekati permukaan tanah – hingga putih itupun dengan mudah ditemukan orang-orang dari Kesultanan Palembang.

”Kenapa kau mempercayai dongeng itu juga” tiba-tiba lelaki itu kembali memotong perjalanan otakku.

Aku seolah-olah lelaki keci yang bodoh dengan alur pikirku pun mampu dibacanya. ”Jangan-jangan dia tahu juga kalo dari tadi aku kebingungan” terkaku.

”Jangan kau persulit dirimu sendiri, lebih rileks akan membuatmu menikmati perjalanan.”

Spontan kedua ujung alisku bertemu. ”Apalagi maksud lelaki tua ini”

”Pulau yang kau kenal bernama Bangka ini, dulunya benar ada sejumlah kecil timah metalik muncul ketika sebuah lapangan dibakar untuk dijadikan ladang oleh kakek buyutmu.”

”Tapi itu serta merta bisa kau yakini kebenarannya, atau kau lebih suka versi dongeng yang kusebut dengan dongeng debu timah.” cerocos lelaki tua mencoba membuatku tertarik.

”Debu Timah?” pikiranku semakin kacau dan tak jelas.

”Iya benar. Kesultanan begitu kuat menancapkan kekuasaanya di daratan yang mereka sebut sebagai tanah kemakmuran. Setiap kampung di daratan ini mesti memberikan upeti setiap masa yang telah ditentukan. Upeti itu berupa beberapa pikul paku yang kemudia akan diserahkan oleh Sultan Palembang. Masa itu masyarakat di kampung-kampung telah mengenai pengolahan besi terlebih dahulu. Namun sayangnya kebiasaan memberi upeti itu tidak dapat dilaksanakan oleh sebuah kampung.” Pak tua menarik napas.

”Kau tau apa yang kemudian terjadi” tanya pak tua.

”Kampung mereka dibakar.” tebakku.

”Iya. Cerita seperti ini memang mudah ditebak, hampir setiap dongeng yang kau tulis ulang pun bercerita seperti inikan?” tanya pak tua kembali.

Aku tak mau merespon ucapanya, karena semakin aku banyak bicara lelaki yang tak kukenali ini semakin mengetahui jalan pikiranku.

”Setelah kampung itu dibakar, muncullah timah logam dalam debu. Sejak saat itu Kesultanan lebih tertarik upeti berupa logam timah dibanting paku yang selama bertahun-tahun menjadi upeti.”

Orang muda sepertimu hendaknya lebih mengenal diri, kenali tempat lahirmu, baca tanda disetiap jejakmu, dan setelah itu barulah seberangi pulau ini dan temukan bagian dari daratan Bangka dan Belitung yang dulu telah lama hilang dari asalnya. Dan Kau Akan temukan di sana.” lelaki itupun membalikan tubuh lalu pergi.

Sepeninggalan lelaki yang tak kukenal tadi, tubuh ini mulai bergemetar dan nyeri mulai menusuk-nusuk persendian. Aku menarik napas, melengkung di pingiran dermaga. Serasa akan kususul pak tua itu -- tetapi kibas angin pelabuhan begitu liar menampar pipi. Mataku pun mulai dipenuhi burung layang-layang yang berkeliaran. Kulihat mereka seperti mengintai atau barangkali siap membawaku terbang. Tapi itu mungkin khayalan semata. Pastinya napasku terengah-engah. Dengan sigap entah dari mana datangnya, tiba-tiba sepasang lengan yang kokoh menangkap tubuh – hampir terpuruk menyentuh pembatas dermaga, yang kulihat sesaat kemudian hanyalah kolam pelabuhan dengan riak-riak asinnya tempat ikan-ikan kecil bermain.

”Hei,..” kalimat singkat sayup-sayup itu mulai terdengar menyambut diri yang perlahan mampu menggerakkan sebagian tubuh.

”Bertemu dengan pak tua rupanya kau.” tebak lelaki di sisi kiri dipan, tempat tubuhku terbaring. ”Ha,..pasti kau kebingungan dari mana aku mengetahui. Sudah, jangan kau pikirkan, saat ini, kau minum sajadulu!” lelaki itupun kemudian menyodorkan secangkir minuman hangat. Dari aromanya aku tahu kalau isi cangkir itu adalah air jahe, tapi alangkah terkejutnya ketika tegukan pertama, yang kurasa bukan air jahe yang biasa kuminum dulu ketika masih SMA.

”Kenapa kau pikir itu air jahe,...memang aromanya sama seperti terkamu tapi ini adalah minuman tradisional kampung kami, yah,...sama seperti jamu tradisional jika kau berada di tanah Jawa.” jelas lelaki itu kemudian.

”Ia selalu datang sesukanya dan kemudian meninggalkan sesuatu yang tak jelas seperti saat ini.” lelaki itu lagi-lagi menyampaikan sesuatu yang tak sedikitpun kumengerti.

Dan Aku Terdiam.***

Sungailiat 2007 – Jakarta, 11 Juli 2009

Cerpen Koko P Bhairawa ini telah dipublikasi di halaman Budaya Bangka Pos, edisi Minggu 12 Juli2009

Tidak ada komentar: