Jumat

Takkan Pergi Rasa

mini teenlit: R. Panji Bhairawa

mini teenlit ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi Minggu 13 Januari 2008


BUTIR cahaya lembayung senja itu sedikit terhalang awan yang menggumpal di horison ufuk barat. Meski demikian, keelokan panorama senja itu tak sedikit pun berkurang. Garis laut yang bertemu dengan kaki langit menyemburatkan aura biru, berpadu dengan sisa-sisa sinar surya yang hendak kembali ke peraduannya.

Inilah Ramadhan pertama di tanah Minang!” gumam hati kecilku.

Setelah penat dengan kebisingan kota yang akan beranjak megapolitan dan dendang pengamen kecil di pelataran Benteng, kutinggalkan riak Musi – Palembang – dan cerita kemarin demi tugas baru tapi selalu saja ada cerita yang tak mampu lepas.

Tak jauh dari ''pertemuan'' panorama indah laut dan langit itu, tampak burung-burung camar melayang-layang di atas riak ombak yang menggaris berbusa. Sesekali burung lincah itu menceburkan diri ke permukaan air untuk sekadar membasahi badan atau membasahi tenggorokannya yang kering setelah berkelana sepanjang hari.

Barangkali mereka ikut puasa juga, ha...ha...” pikir anehku kambuh lagi.

Disebuah semen pembatas bibir pantai aku terdiam sendiri dan asyik bercanda dengan diri. Sendiri mungkin itulah yang acap kali membuatku bosan dan berpikir untuk mencari atau sekadar ditemani seseorang.

Tapi apa aku mampu?” kali ini batinku bertanya.

Mampu?”

Yah, mungkin itulah hal yang paling malas untuk kutemukan jawabanya. Cerita bersamanya dulu terlalu indah untuk di delete dari sisa memori otak ini. Lebih baik kuhapus file yang lain saja.”

Uh...ss.....!” nafasku mulai terbiasa dengan aroma pasir dan air laut rupanya. Aku kembali terdiam bersama kornea yang mulai betah dengan pemandangan baru di kota ini.

Tak jauh dariku, di dekat garis pantai beberapa pasang orang tua sambil menggandeng anak-anaknya menelisik pasir, bercanda diantara buih ombak yang pecah di kaki mereka.

Yah, sepertinya sore kemarin mereka memang sedang menikmati keindahan alam sembari menunggu datangnya waktu berbuka.”

''Waktu terasa lewat begitu cepat berlalu.” tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku. Tanpa permisi ia asyik meletakkan cangkir minuman diatas sebuah meja. ”Sepertinya tidak keberadatan jika saya berbagi minuman dan sekedar makanan ringan untuk berbuka kali ini?” lanjut sosok itu.

Saya begitu menikmati setiap datang dan mengunjungi sore di tempat ini bersama tiupan angin dan gemercik ombak yang jatuh diantara pasir-pasir.” katanya lanjut. Aku hanya terdiam dan masih merasa seperti orang bodoh. Ia berbicara tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk menyela atau sekedar memotong.

Sepertinya kau orang baru, karena tidak lebih dari tiga atau empat kali kau datang mengunjungi tempat ini. Itupun seingatku?”

Yah, maklum mungkin saya sudah terbiasa sendiri menyaksikan matahari turun dan akhir-akhir ini ada orang baru yang ikut kebiasaan itu – ditambah ia duduk ditempat menjadi favorite dimana saya acap kali menghabiskan sore ditempat itu.” cerocotnya kemudian.

Ha..???” sontak aku kaget, ”Waduh, sampai segitunya ada orang yang begitu fanatik dengan tempat.” pikirku.

Saya bukan fanatik, tapi ini berkaitan dengan kenyamanan dan kenikmatan hidup.” ucap ia kemudian.

Lho, kok ia bisa tau apa yang kupikirkan?” aku mulai bertanya-tanya dan sedikit keheranan.

Kenapa kau masih bingung, saya bisa tau apa yang kau pikirkan., He,..” dengan senyum sedikit mengejek ia menatapku. Ekor matanya tampak menusuk.

Teman-teman biasa menyapa dengan sebutan Aya, lumayan pendek tapi jangan samakan dengan tinggi saya yang tak lebih tinggi dengan Dian Sastro...”

Ih,..pede dan super narsis juga orang ini.” pikirku.

Oh,...maaf kalo aku telah menjajah tempatmu, baiklah kalo begitu aku cari tempat lain.” akhirnya ada juga kalimat yang keluar dari bibirku.

Upzzz...maaf saya tidak akan membiarkan orang seperti anda pergi begitu saja!” balas ia dengan nada meninggi. ”Ya Allah, habis deh. Mana ini lagi puasa, gak mungkin mesti berantem dengan cewek, mana lagi rame – jangan-jangan nanti disangka akan kena pasal pelecehan lagi.” otakku mulai menerka-nerka.

Nah, begitukan bagus. Duduk yang tenang dan temenin saya hingga berbuka. Nih kebetulan ada paket murah buat berdua yang saya beli di mal depan.”

Ampun, mimpi apa semalam – koko bisanya sore ini ketemu dengan cewek aneh, jangan-jangan...” hati kecilku kembali berbicara, sedang cewek itu hanya senyum-senyum tanda kemenangan.

Waktu terasa lewat begitu cepat berlalu.” ia kembali mengulang kalimat yang tadi kudengar. ”Dulu sore adalah saat yang paling saya benci dan selalu dihindari, tapi itu tak mungkin. Selama matahari masih berputar dan sang Maha masih meniupkan kehidupan ia akan selalu datang.”

Aduh, bicara apa lagi cewek ini” aku hanya bisa berdialog dengan hati, nanti juga ia tahu dan bisa membaca apa yang aku pikirkan.

Sampai pada suatu ketika, saya mengenal Aan. Yah,..mungkin ialah yang kemudian membuat diri betah berlama-lama menikmati sore disini. Sejak saat itu, menjelang sore saya selalu menyaksikan ombak dan pemandangan yang katanya adalah sebagian dari surga dunia bagi penglihatannya. Walau saat itu diri belum mengerti dan tak pernah bisa merasakan apa yang selalu ia katakan.”

Sementara itu sayup-sayup suara alunan ayat mulai memuai, seperti tinggal menunggu lima atau enam menit lagi, puasa hari ini akan selesai. ”Lalu kenapa kau tak bersama dia datang menikmati sore?” tanyaku polos.

Ia hanya membalas dengan senyum lalu berkata, ”Jika aku bersamanya mungkin aku yang tak bisa menikmati sore yang katanya begitu menakjubkan sampai-sampai ia begitu mencintai kota ini”

Aku masih belum mengerti apa yang ia katakan, mungkin daya tangkapku mulai berkurang atau aku terlalu tak mau ambil pusing dengan setiap kalimat yang ia lontarkan. ”Payah,..kok bisa-bisanya aku menjadi lemot begini yah!”

Ah,..sudah jangan terlalu kau pikirkan!”

Bila aku ceritakan mungkin kau tak juga akan paham atau mengerti.” lanjut Aya santai. Sesaat kemudian aku coba perhatikan sosok yang duduk disebelahku.

Astagfirullah,...sepertinya aku begitu akrab dengan apa yang kulihat...”

Ngak,..ngak mungkin, ini ngak mungkin terjadi,..” hatiku mulai berdegup kencang.

Aya kemudian berdiri dan membalikkan tubuh mengambil cup teh Poci, dengan tenang ia menyeruput dinginnya teh. Aku bengong, dan tak dapat berkata. ”Hei,..sudah azan, kau tak mau berbuka?” tanyanya lanjut.

Ya Allah, suara azan pun luput dari sadarku,...”

Oh yah, mungkin kita berdua punya satu tujuan yang sama kenapa datang ke tempat ini,...” lalu ia mendekat ”Mungkin takkan pergi rasa” lagi-lagi aku terdiam, bicaranya tambah membuatku bingung, kemudianku berdiri dan mulai menyaksikan orang-orang yang mulai meninggalkan bibir pantai menuju rumah suci Mu.. ”Uh...ss.....!” tarikan nafasku sedikit berat magrib ini.***

22 Ramadhan 1428 H


Violent

Violent...

mini teenlit: R. Panji Bhairawa


mini teenlit ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi 23 September 2007

SAYA tak pernah menyesali ketika semuanya terjadi, sebaliknya saya mulai berfikir kalau saja waktu itu tidak bertemu dengan dia, mungkin tidak akan seperti sekarang.”

Kalimat itu selalu mengganggu pikiran. Bukan hanya karena yang menuturkannya adalah seorang perempuan berparas cantik, tapi ia begitu tenang setiap melemparkan kalimat demi kalimat saat di pelataran Benteng tempo hari.

Sore di Selasa minggu kedua bulan September, aku kembali menghabiskan waktu di pinggiran Benteng. Sama seperti kala itu, duduk dengan mata terbuka menatap setiap pemandangan yang begitu indah di bola mata. Dari hati terdalam tersimpu doa, berharap agar perempuan yang pernah menemuiku tepat di hari yang sama di bulan kemarin dapat bertemu lagi.

Hampir sepuluh menit aku terdiam dengan mata menerawang entah kemana. Hingga seorang anak kecil, bertubuh kurus dan berambut ikal dari sisi kiri datang menawarkan air mineral. ”Minumnya kak!” seru bocah yang seusia adik Tyo di kampung seberang.

In’dak..!” jawabku seadanya.

Sesaat kemudian entah kenapa korneaku begitu risih menyaksikan sepasang lelaki-perempuan muda di pinggir kanan tanpa kikuk berpelukan. Mereka begitu menikmati romansa hidup secara merdeka dan dunia adalah milik mereka berdua saja. ”He..he..” tawa kecil menghias di wajah timur tengahku.

Hari semakin sore bersama air yang mulai beriak memantulkan jingga dari sang matahari senja. Saat seperti inilah yang selalu mengobati kegundahan hati dan ketidak mengertian setelah semuanya terjadi. Aku lelah menanti senyum itu datang tapi selalu saja tak mampu kubuang jauh-jauh bayanganmu.

”Uhs,..andai saja kau ada disebelahku, mungkin ku kan ceritakan tentang gundah dan kucurahkan semua kerinduan.. andai saja kau masih menjadi bagian dari orang-orang yang bisa tertawa dan menapaki setiap jengkal bumi ini, andai saja..!” hatiku bicara entah kemana.

Sesaat kemudian,... “Maaf, boleh saya duduk di sebelah anda?” tiba-tiba terdengar suara mengejutkan. Hatiku berdetak, sepertinya aku pernah mendengar suara seperti ini. Segera ku tolehkan samping kanan asal suara. Seorang perempuan berbaju hitam, kembang-kembang biru. Ia mengenakan kacamata hitam. Sebuah syal berwarna ungu kehitaman melilit lehernya.

Maaf sepertinya kita pernah bertemu?” ucapku kemudian.

Perempuan itu hanya tersenyum, otak kecilku terus berputar mengaduk-aduk file,..”Oh, ini kan perempuan yang seharusnya kutemui bulan lalu.” batinku berkata mantap.

Ehm..ya..benar dia lah orangnya.” lanjut batinku. Tak banyak yang berubah dengan perempuan itu. Tangan kanannya masih membawa kantung berisi kentang goreng dan segelas capucino sama seperti saat kemarin bertemu, kacamata hitam masih menghiasi wajah putihnya, walau demikiantak berarti kecantikannya tertutupi pula. Jelas terlihat olehku, ia adalah perempuan yang sangat cantik.

”Sepertinya kau tak pernah bosan datang,” dengan nada sedikit rendah hati perempuan tadi membuka pembicaraan. Aku kini kembali terdiam. ”Apa maksudnya..?” tanyaku dalam hati.

Bingung, atau seorang yang dulunya selalu punya cerita-cerita lucu dengan keceriaanya telah mati oleh waktu.” lanjutnya sembari menyeruput capucino.

”Apa maksudmu?” kali ini pertanyaan itu benar-benar keluar dari mulutku.

”Perempuan terkadang bisa merubah semua yang diinginkannya, tapi kurasa bukan keinginan dia untuk merubahmu menjadi seperti saat ini. Hanya bisa duduk dan bengong memandang riak musi dan jingga di angkasa. Ayo lah Panji mana semangatmu..!” kali ini aku benar-benar keheranan, ”Panji, dari mana dia mengetahui nama kecilku. Sejak aku pindah ke kota ini tak seorangpun tau akan nama itu.” hatiku bertanya-tanya.

”Jika saja dia masih menjadi bagian dari kita, mungkin tak lama tinjuan khas darinya akan mendarat di perutmu,..kamu taukan kalau dia paling tidak suka melihat orang yang dicintainya diam dalam kesedihan yang berlarut-larut.” kali ini perempuan itu menaikan suaranya.

Matahari semakin turun, disisinya berarakan gumpalan awan bersama langit yang mulai berpendar. Pantulan jingga terus menari-nari di riak sungai yang akan selalu menghiasi sore disini. Aku masih terdiam dan terduduk lemas. Sesaat perempuan itu menyodorkan dompet berwarna biru. ”Ini yang ia titipkan untukmu sebelum masa itu datang.”

Mataku serasa tak percaya, dompet ini akrab sekali. Dompet biru khas perempuan itu masih sangat bagus dan terawat. ”Aku selalu menunggu waktu yang tepat untuk menyerahkan ini padamu, aku juga merasa kebingungan apa yang harus kulakukan untuk menyampaian semua yang telah terjadi pada dia. Melan memang terlalu sayang padamu, sampai datang para malaikat memisahkan ruh dan jasadnya, selalu saja namamu diucapkannya.” sebutir air jatuh dari kelopok mata perempuan itu, tanganya meremas cup capucino hingga isi dalamnya keluar.

Setiap saat ketika Melan sadarkan diri, cerita tentangmu selalu menjadi pokok bahasan yang terlalu sering kudengar. Panji itu nama kecilmukan, Melan juga yang selalu mengatakanya padaku. Kau tak suka dipanggil Putera olehnya, walau namamu sebenarnya ada suku kata Putera.” dengan sedikit tawa kecil perempuan itu menatapku.

Mungkin sore ini aku hanya bisa terdiam, ”Dompet itu merupakan hadiah ulang tahun yang kau hadiahkan pada Melan tepat sehari sebelum ia pergi, dan aku yang mengantarkanya pada Melan karena dompet itu kau kirim melalui jasa pengiriman yang dialamatkan ke kost.”

Kau mau tau reaksinya melihat hadiah darimu?” lanjut perempuan itu sembari meletakan bungkus kentang goreng dan cup capucino di bawah bangku. Hanya anggukan yang bisa kulakukan.

”Ternyata ia menepati janji untuk mencarikan dompet biru yang selalu kami ceritakan setiap malam waktu masih berbeda kota dulu, dia benar-benar menepati janjinya. Begitulah kata-kata yang ia ucapkan ketika membuka hadiah darimu.”

Akupun tahu kalau pelataran benteng ini adalah tempat yang selalu kau dan dia datangi ketika ingin menikmati sore dan ketika magrib datang, masjid Agung adalah tempat yang dulu sering kalian datangi untuk menunaikan kewajiban, dan tempat itu juga yang pernah menjadi rencana untuk sebuah janji dalam ikatan pernikahan kalian. Aku mengetahui semuanya dari Melan.” Ia kemudian melirik jam tangannya. Raut wajahnya nampak terkejut sama seperti saat itu. Dengan cekatan ia segera merapikan dirinya kembali, kemudian berdiri dan berkata; “Maaf, saya harus segera kembali, ada tulisan yang belum saya kerjakan.” katanya sambil mengulurkan tangan.

Saya tak pernah menyesali ketika semuanya terjadi, sebaliknya saya mulai berfikir kalau saja waktu itu tidak bertemu dengan dia, mungkin tidak akan seperti sekarang. Melan lah yang membawaku untuk mau melanjutkan pekerjaan sebagai seorang reporter sekaligus penulis cerita bersambung di koran yang telah membawaku seperti hari ini.” dengan masih terdiam dan memandangi dompet biru, aku meraih tangan perempuan itu. ”Oh ya,..namaku Violent, nama itu juga pemberian Melan padaku, katanya cocok untuk nama penaku dan seperti warna yang selalu ia nantikan ketika memandang angkasa.” perempuan itu kemudian berlalu meninggalkanku yang masih duduk di bangku pelataran benteng.

Soreku mungkin sedikit lebih baik dari kemarin atau seminggu, bahkan sebulan yang lalu,..soreku kali ini tak menyisahkan tanda tanya dalam hati,..Melan.***





Amelya


Amelya

Oleh R. Panji Bhairawa

mini teenlit ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi Minggu 29 Juli 2007


AKU tak akan berhenti berharap walau itu hanya setitik cahaya saja” kucoba kirimkan pesan singkat itu kembali. Cukup lama menanti balasan pesan hingga aku harus mengulangnya sampai dua kali. Aku masih termenung hingga tanpa sadar taksi yang membawaku mulai memasuki kawasan bandara internasional Soekarno-Hatta.

”Bang, sudah sampai!” suara sopir taksi menyadarkan lamunan.

Kuperhatikan sekeliling, ruang tunggu terminal tampak sesak dengan para calon-calon penumpang yang barangkali akan segera kembali ataupun berpergian ke suatu tempat yang mereka impikan. Sejenak aku mematung, sekali lagi kusapukan pandangan diantara pengantar, para sopir taksi, dan petugas bandara. ”Barangkali ia sudah disini!” batinku berucap.

Pemandangan ini memang sudah terlalu sering kutemui. Akan tetapi, dari sekian banyak mereka disana aku memanantikan sosok yang selalu menemani impian-impianku.

”Uhs,...sss!” kutarik nafas.

Dengan sedikit keraguan kulangkahkan kaki masuk ruang check in. Setelah mendapatkan boarding pass, kuputuskan untuk keluar dan bersegera duduk di ruang tunggu luar terminal. ”Masih cukup lama!” pikirku sembari memandang lurus ke jam digital di pintu keluar.

Tak berapa lama kemudian aku telah berada dideretan mereka-mereka yang duduk di bangku ruang tunggu. Entah apa yang kupikirkan saat itu, aku sepertinya terlalu lugu sehingga setiap bus damri bertuliskan ’GAMBIR’ berhenti dan menurunkan penumpangnya di terminal pemberangkatan domestik ini, mataku tak lepas memandang setiap jiwa yang baru turun, walau matahari sore menjatuhkan sinarnya tepat dihadapanku.

Entah berapa banyak bus yang bertuliskan ’GAMBIR’ lewat begitu saja tanpa kutemukan kau disana. Satu-dua bus,..entah berapa banyak lagi, aku tak ingat. Tapi harapan selalu membesarkan niatku untuk menanti kau hingga pesawat yang membawaku kembali ke kota tercinta memanggil.

”Sepenuhnya aku ingin memelukmu, mendekap penuh harapan tuk menciantaimu,..setulusnya aku akan terus menunggu...”

Lirik Menanti Sebuah Jawaban dari vokal Fadli ’Padi’ menggema di telingaku, arlogi digital di ponselku terus berganti angka. Tidak kurang dari empat puluh lima menit lagi batas perwujudan asa itu ”Iya atau tidak”

Aku masih membaca buku yang kemarin kita beli di Kwitang, tempat dimana kau selalu ingin dan ingin untuk datang. Hatiku tak henti berdoa dan berharap. Ditengah penantian, tiba-tiba sesosok gadis berparas menawan hadir mengusik sendiriku. Dengan kaca mata berframe kotak, ia melangkah mendekatiku yang sudah lebih dari dua jam duduk menghadap matahari. Aku sengaja datang lebih awal tiga jam untuk sebuah kepastian.

Dengan jeans biru, t-shits berwarna senada dengan lengan tiga perempat, bersepatu merah ia langsung meraih tangaku yang mulai keringatan dipanggang matahari sore.

”Aku datang!”

Entah kenapa tanpa dikomando, air yang mungkin sejari tadi atau bahkan berbulan-bulan yang lalu tertahan di kantung mata ini segera jatuh. Dalam-dalam kutatap wajahnya yang masih terlihat lelah. ”Aku sayang Amel!” ucapku lirih,...ia hanya tersenyum. Dari sorot matanya kutemukan kedamaian dan obat terampuh dari kegelisahan ini. ”Sudah,..” ucapnya sembari menyapu air mata satu-dua yang jatuh di pipiku.

Kulirik cincin di jari manisnya sama seperti yang ada padaku, aku tersenyum kecil.

”Iya,..ini akan kujaga” tuturnya sembari terus mencengkram tanganku lebih erat.

”Perhatian-perhatian kepada seluruh penumpang Sriwijaya Air tujuan Jakarta-Palembang segera memasuki ruang tunggu, karena pesawat sepuluh menit lagi akan diberangkatkan!” tiba-tiba mikrophon bandara memanggil.

Aku yang sedang larut dengan cerita-cerita bersama Amel tersentak. ”Sepertinya sudah saatnya aku masuk!”

Kembali kuperhatikan wajahnya, seperti biasa senyum kecil menghias rona ”Aku harus masuk!” kataku sekali lagi. Ia terus memegang tanganku dengan erat. ”Ya Allah, izinkan aku mencium keningnya” pintaku dalam hati. ”Kuatkan aku untuk berpisah dan menjalani hari-hariku mendatang” pintaku lagi.

Kakiku serasa begitu berat untuk melangkah tetapi kulihat senyum kecilnya semuanya terasa kembali normal. Entah apa yang jadi padaku, mungkin sebagai seorang cowok aku terlalu mudah untuk menjatuhkan air mata. Namun, hanya dialah yang mampu membuatku begitu.

***

Sesaat kubukakan mata dari jendela pesawat, lampu-lampu tampak indah di mataku. Dari kejauhan terlihat Jembatan Ampera yang begitu kecil dengan dibaluti titik-titik cahaya lampu, dimana mengalir air dari Sungai Musi yang tampak teduh bermandi cahaya bulan.

”Uhs,...usss” Entah kapan lagi aku bisa bertemu dengannya. Setelah semua tugas studi berakhir, ia kembali ke Padang guna menyelesaikan tugas akhir. Sedang aku kembali menjalani hari-hari di tanah Sriwijaya. Pastinya aku akan datang ke tanah Minang untuk sebuah janji itu. ”Amelya,...”***

Hanya Malam Jumat Kliwon

Hanya Malam Jumat Kliwon

by: R. Panji Bhairawa


mini teenlit
ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi Minggu 13 Mei 2007

BULAN tepat menjatuhkan cahayanya pada bidang-bidang di permukaan bumi. Awan malam yang berintegral dengan kerlip bintang semakin mempercantik pemandangan tiap mata yang melihat. Bila sudah seperti ini, pastilah Junet nangkring di beranda atas. Tak banyak yang ia lakukan, selain memandang langit dan menantikan bintang jatuh. Paling-paling jika bete mulai menyerang, ia segera memutar mp3 dari ponselnya sembari mengunyah permen karet yang mungkin udah berhari-hari mangkal di rongga mulutnya. Namun, sejak peristiwa malam minggu yang lalu, Junet tidak lagi berani berlama-lama memanjakan diri di loteng atas. Ia begitu menderita setiap kali mengingat kejadian itu.

"Bukannya keindahan yang gue dapat malah bayangan-bayangan yang gak jelas githu." cerita Junet pada Sulai selepas Jumatan kemarin.

"Wah, itu juga keindahan Net!" respon Sulai dengan senyum joker.

"Keindahan dari mana, dari Hongkong maksud loe?!" gerutu Junet.

"Eh..eh..jangan bawa-bawa Hongkong entar didenger Jet Lie, loe bisa dijadiin bubur lho!"

"Apa Jet Lie? Perasaan gue thu orang udah nyatu dengan tanah deh, dan doski bukan dari Hongkong!"

"Iya,..iya terserah loe dah, gue sebagai orang waras ngalah aja." balas Sulai.

"Eh...eh..,entar terakhir loe bilang apa tadi?"

"Udah gak penting dibahas." Junet dan Sulai adalah dua sahabat yang identik, maksudnya meski keduanya lahir dari perut emak yang berbeda tapi keduanya memiliki potongan wajah dan sifat yang rada-rada mirip. Mereka berdua sering dikira kakak beradik.

"Ih, sorry mayori, gue ngak punya adik sejelek dia." kilah Junet setiap ada orang bertanya tentang kemiripan mereka.

"Eh, siapa lagi yang sudi jadi adik elo, mending gue nyebur di sungai deh." balas Sulai tak mau kalah.

Selidik punya selidik ternyata, mereka berdua memiliki ayah yang sama. "Kok bisa?". Dulu, ayahnya Junet sangat menginginkan punya anak tapi sampai usia perkawinan ayah dan ibunya Junet memasuki tahun ke sepuluh belum juga dikarunia anak. Akhirnya ayahnya meminta izin untuk menikah lagi. Merasa itulah jalan terbaik, Ibunya Junet meridhoi suaminya untuk berpoligami. Nah, menikahlah ayah Junet dengan ibunya Sulai. Eh selang beberapa bulan kemudian, ibunya Junet dan ibunya Sulai hamil.

"Net, entar malam loe nemenin gue jaga rumah ya!" pinta Sulai.

"Ngapain, kayak kurang kerjaan aja."

"Ehm, tolonglah enyak pulang kampung, gue gak ikut, besok ada seminar." pinta Sulai lagi

"Ayolah, gue masih penasaran nih, kemaren kan gue kalah maen ps sama loe."

"Emang gue peduli, he..?" balas Junet sembari tertawa kecil.

"Loe thu ye, sok dibutuhin banget!"

"He...he.."

***

Azan Magrib mulai memanggil para penghuni kampung, beberapa saf di Mushola yang merupakan satu-satunya di pemukiman itu mulai tampak padat dengan jiwa-jiwa yang siap menunaikan ibadah. Sementara itu di sebuah rumah bernomor 88A, nampak pemiliknya sibuk mencari peliharaannya. Dia adalah Sulai, seperti biasa. Saban menjelang matahari ke barat, ia pun mulai memasukkan ayam-bebek dan beberapa angsanya kembali ke kandang.

"Eh,...jangan cuma ngurusin ayam, inget noh udah ada panggilan Magrib!" sapa Junet yang sudah rapi dengan sarung, baju koko dan peci putihnya.

"Iya,..entar lagi kelar, loe duluan deh. Ups,..tapi inget habis Magrib loe temenin gue yah..he..he..!" balas Sulai.

Tanpa menjawab, Junet langsung melenggang menuju mushola kampung.

Malam itu bulan tampak samar-samar, lantaran awan hitam sedikit menodai langit. Semilir angin pelan-pelan datang menusuk pori Sulai dan Junet yang sedang memandang angkasa malam.

"Lai, kalo gak salah ini malam jumat kan?" pancing Junet.

"Maksud loe?"

"Kalo gak salah lagi, menurut kalender jawa. Malam ini jumat kliwon!" lanjut Junet semakin menghangatkan suasana.

"Lalu apa hubungannya?" tanya Sulai sok gak ngerti, padahal jantungnya udah degap-degup.

"Ih, masak sih loe ngak ngerti. Kata mbah Joge--dukun kampung, kalo jumat kliwon biasanya para setan berpesta dan menjelma wujud macem-macem" jelas Junet.

"Ah loe percaya sama omongan dukun, musyrik tau!"

Sesaat kemudian, keduanya terdiam – mata mereka saling menatap satu sama lain. Dinginnya angin malam kembali menusuk jaringan pori keduanya. Malam itu tidak terasa sudah mendekati pukul sebelas malam. Dari beranda lantai 2 88 A, mereka melihat sesosok berwarna putih mulai mendekat. Sosok itu terkadang terlihat dan lenyap begitu saja.

"Lai,..loe lihatkan itu?" kata Junet sembari mengarahkan telunjuknya ke arah jalanan kampung.

"Tuuu...uuuhhh kannn gue bilang apa tadi. Ini malam Jumat Kliwon!" lanjut Junet dengan gemetar.

"Masuk yuk,..!" pinta Junet. Kali ini dia menarik tangan Sulai yang masih asyik menyaksikan pemandangan di depannya.

Lama kelamaan, ditengah kecemasan Junet. Sosok itu mulai menampakkan wujud sebenarnya. Tingginya tidak lebih dari tinggi Uda Jailani pemain volly andalan kampung. Meskipun baru berjarak sepuluh meter bau tubuhnya telah tercium.

"Assalamualaikum,...belum tidur kalian!" sapa sosok putih itu.

"Waalaikumsalam, belum Uda!" balas Sulai.

"Ups..!" Ternyata sosok putih itu adalah Uda Jemain yang baru pulang menghadiri hajatan di kampung sebelah. Uda Jemain memang acap kali diundang pada setiap hajatan kampung. Maklumlah dialah satu-satunya guru ngaji yang pernah mengenyam pendidikan diploma di Kairo. Uda Jemain sangat berbeda dengan kakaknya Jailani. Walaupun di kampung keduanya cukup disegani. Bedanya Uda Jemain dikenal sebagai guru ngaji sedangkan kakaknya selain sebagai pemain volly andalan kampung, ia juga dikenal suka mabuk-mabukan di warung minum ujung kampung.

"Uhs,..Uda Jemain hampir bikin copot jantung, pake baju putih-putih, panjang lagi,..persis,.." cerotos Junet.

"Ups,..!" potong Sulai. Disusul dengan tawa ketiganya. Sementara itu dari balik pohon belakang, sosok dengan mata yang tajam mengamati mereka yang masih tertawa.***