Jumat

Amelya


Amelya

Oleh R. Panji Bhairawa

mini teenlit ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi Minggu 29 Juli 2007


AKU tak akan berhenti berharap walau itu hanya setitik cahaya saja” kucoba kirimkan pesan singkat itu kembali. Cukup lama menanti balasan pesan hingga aku harus mengulangnya sampai dua kali. Aku masih termenung hingga tanpa sadar taksi yang membawaku mulai memasuki kawasan bandara internasional Soekarno-Hatta.

”Bang, sudah sampai!” suara sopir taksi menyadarkan lamunan.

Kuperhatikan sekeliling, ruang tunggu terminal tampak sesak dengan para calon-calon penumpang yang barangkali akan segera kembali ataupun berpergian ke suatu tempat yang mereka impikan. Sejenak aku mematung, sekali lagi kusapukan pandangan diantara pengantar, para sopir taksi, dan petugas bandara. ”Barangkali ia sudah disini!” batinku berucap.

Pemandangan ini memang sudah terlalu sering kutemui. Akan tetapi, dari sekian banyak mereka disana aku memanantikan sosok yang selalu menemani impian-impianku.

”Uhs,...sss!” kutarik nafas.

Dengan sedikit keraguan kulangkahkan kaki masuk ruang check in. Setelah mendapatkan boarding pass, kuputuskan untuk keluar dan bersegera duduk di ruang tunggu luar terminal. ”Masih cukup lama!” pikirku sembari memandang lurus ke jam digital di pintu keluar.

Tak berapa lama kemudian aku telah berada dideretan mereka-mereka yang duduk di bangku ruang tunggu. Entah apa yang kupikirkan saat itu, aku sepertinya terlalu lugu sehingga setiap bus damri bertuliskan ’GAMBIR’ berhenti dan menurunkan penumpangnya di terminal pemberangkatan domestik ini, mataku tak lepas memandang setiap jiwa yang baru turun, walau matahari sore menjatuhkan sinarnya tepat dihadapanku.

Entah berapa banyak bus yang bertuliskan ’GAMBIR’ lewat begitu saja tanpa kutemukan kau disana. Satu-dua bus,..entah berapa banyak lagi, aku tak ingat. Tapi harapan selalu membesarkan niatku untuk menanti kau hingga pesawat yang membawaku kembali ke kota tercinta memanggil.

”Sepenuhnya aku ingin memelukmu, mendekap penuh harapan tuk menciantaimu,..setulusnya aku akan terus menunggu...”

Lirik Menanti Sebuah Jawaban dari vokal Fadli ’Padi’ menggema di telingaku, arlogi digital di ponselku terus berganti angka. Tidak kurang dari empat puluh lima menit lagi batas perwujudan asa itu ”Iya atau tidak”

Aku masih membaca buku yang kemarin kita beli di Kwitang, tempat dimana kau selalu ingin dan ingin untuk datang. Hatiku tak henti berdoa dan berharap. Ditengah penantian, tiba-tiba sesosok gadis berparas menawan hadir mengusik sendiriku. Dengan kaca mata berframe kotak, ia melangkah mendekatiku yang sudah lebih dari dua jam duduk menghadap matahari. Aku sengaja datang lebih awal tiga jam untuk sebuah kepastian.

Dengan jeans biru, t-shits berwarna senada dengan lengan tiga perempat, bersepatu merah ia langsung meraih tangaku yang mulai keringatan dipanggang matahari sore.

”Aku datang!”

Entah kenapa tanpa dikomando, air yang mungkin sejari tadi atau bahkan berbulan-bulan yang lalu tertahan di kantung mata ini segera jatuh. Dalam-dalam kutatap wajahnya yang masih terlihat lelah. ”Aku sayang Amel!” ucapku lirih,...ia hanya tersenyum. Dari sorot matanya kutemukan kedamaian dan obat terampuh dari kegelisahan ini. ”Sudah,..” ucapnya sembari menyapu air mata satu-dua yang jatuh di pipiku.

Kulirik cincin di jari manisnya sama seperti yang ada padaku, aku tersenyum kecil.

”Iya,..ini akan kujaga” tuturnya sembari terus mencengkram tanganku lebih erat.

”Perhatian-perhatian kepada seluruh penumpang Sriwijaya Air tujuan Jakarta-Palembang segera memasuki ruang tunggu, karena pesawat sepuluh menit lagi akan diberangkatkan!” tiba-tiba mikrophon bandara memanggil.

Aku yang sedang larut dengan cerita-cerita bersama Amel tersentak. ”Sepertinya sudah saatnya aku masuk!”

Kembali kuperhatikan wajahnya, seperti biasa senyum kecil menghias rona ”Aku harus masuk!” kataku sekali lagi. Ia terus memegang tanganku dengan erat. ”Ya Allah, izinkan aku mencium keningnya” pintaku dalam hati. ”Kuatkan aku untuk berpisah dan menjalani hari-hariku mendatang” pintaku lagi.

Kakiku serasa begitu berat untuk melangkah tetapi kulihat senyum kecilnya semuanya terasa kembali normal. Entah apa yang jadi padaku, mungkin sebagai seorang cowok aku terlalu mudah untuk menjatuhkan air mata. Namun, hanya dialah yang mampu membuatku begitu.

***

Sesaat kubukakan mata dari jendela pesawat, lampu-lampu tampak indah di mataku. Dari kejauhan terlihat Jembatan Ampera yang begitu kecil dengan dibaluti titik-titik cahaya lampu, dimana mengalir air dari Sungai Musi yang tampak teduh bermandi cahaya bulan.

”Uhs,...usss” Entah kapan lagi aku bisa bertemu dengannya. Setelah semua tugas studi berakhir, ia kembali ke Padang guna menyelesaikan tugas akhir. Sedang aku kembali menjalani hari-hari di tanah Sriwijaya. Pastinya aku akan datang ke tanah Minang untuk sebuah janji itu. ”Amelya,...”***

Tidak ada komentar: