Kamis

Aku Lelah Manjadi Cantik Masuk Final Nominasi KLA 2009


Berikut adalah keputusan akhir dewan juri untuk kategori Penulis Muda Berbakat Khatulistiwa Literary Award ke 9, 2009.

Pada akhirnya dewan juri hanya memilih 8 karya yang memenuhi syarat kategori ini dan mereka yang lolos untuk penilaian berikut adalah (dalam urutan tak teratur):

1. Kartini Nggak Sampai Eropa/Sammaria
2. Aku Lelah Menjadi Cantik/Koko P. Bhairawa
3. 9 Matahari/Adenita
4. Lika Liku Luka/Celinereyssa
5. Etzhara/Rino Styanto
6. Pengantin Subuh/Zelfeni
7.Separuh Bintang/Evline
8.Fortunata/Ria N. Badaria

Sedangkan untuk Kategori Prosa dan Puisi tidak berubah, sebagai berikut:

5 Besar Prosa:

1. Meredam Dendam/Novel/Gerson Poyk
2. Sutasoma/Novel/Cok Sawitri
3. Lembata/Novel/F. Rhardi
4. Lacrimosa/Kumpulan Cerita Pendek/Dinar Rahayu
5. Tanah Tabu/Novel/Anindita S. Thayf

5 Besar Puisi:

1. Dongeng Anjing Api /Sindu Putra
2. Kolam/Sapardi Djoko Damono
3. Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa/Wendoko
4. Puan Kecubung/Jimmy Maruli Alfian
5. Perahu Berlayar Sampai Bintang/Cecep Syamsul Hari

Kepada semua finalis, harap hadir pada malam Anugerah Sastra Khatulistiwa ke 9, bertempat di Plaza Senayan, Jl. Asia Afrika, Jakarta.

Sumber : Blog Khatulistiwa Literary Award, 2009

Rabu

Lomba Puisi dan Penyair sempena Pesta Penyair Indonesia

The 3rd Medan International Poetry Gathering

I. Tanggal Pelaksanaan

Jum’at-Minggu, 20 – 22 Nopember 2009 Taman Budaya Sumatera Utara
Senin, 23 Nopember 2009 to Parapat – Danau Toba

Organised
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan
Dewan Kesenian Medan
Laboratorium Sastra Medan


II. Pokok Pikiran

Pesta Penyair Indonesia 2009 - The 3rd Medan International Poetry Gathering, merupakan kelanjutan dari pelaksanaan sebelumnya tahun 2007 dan 2008 dengan konsep pemikiran yang sama. Yang tampak baru dalam penyelengaraan Pesta Penyair Indonesia - The 3rd Medan International Poetry Gathering tahun 2009 ini adalah dilaksanakannya lomba (baca) puisi karya para penyair Indonesia yang telah mencatatkan dirinya ikut dalam pesta ini.
Puisi dan Penyair dengan latarbelakang daerah serta dinamika sosialnya dalam peradaban kebudayaan, politik, dan ekonomi – selalu ada yang tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dihargai dan diapresiasi. Kebanyakan dari mereka harus melakukan gerilya dan pertarungan yang melelahkan untuk hadir dan mencatatkan diri dalam berbagai even baik nasional maupun internasional.
Akan tetapi, dalam rangkaian lomba puisi dan penyair yang dikait dengan penyelenggaraan Pesta Penyair Indonesia - The 3rd Medan International Poetry Gathering, semua penyair mendapatkan hak yang sama. Tidak ada perbedaan usia apalagi karya – siapapun boleh ikut serta dalam pesta ini.
Siapapun memiliki hak mencatatkan diri serta memperkenalkan karya puisinya, Apa yang terbaca dan terindentifikasi atas perkembangan puisi mutakhir hari ini, hakikatnya adalah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi penyair mengekspresikan ragam gaya dan bentuk kepenyairannya. Karena itu relativitas gaya dari tradisi sastra yang berkembang di masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri menurut geografis, suku, dan adat istiadatnya.
Demikian juga halnya dengan pemakaian lambang dan Simbol-simbol bahasa yang muncul dari setiap karya, baik yang menggunakan metafora, analogi, atau personifikasi dalam imajinasi penyair serta hubungannya dengan pemakaian bahasa lokal yang bersifat kedaerahan. Beberapa pendekatan struktural di samping persoalan bahasa dan problematiknya, puisi Indonesia mutakhir menurut bahasa sastra yang disampaikan penyair bisa jadi merupakan cerminan dari persoalan yang terjadi disekitarnya.
Pesta Penyair Indonesia - The 3rd Medan International Poetry Gathering dimaksudkan untuk mempertemukan seluruh penyair Indonesia yang berada di luar wilayah kedaerahannya tanpa memandang usia, suku, agama, dan golongan. Hal ini merupakan perwujudan dari upaya membentuk ruang komunikasi bersama serta memperarat hubungan silaturahmi sesama penyair dan masyarakatnya.
Menyadari kemungkinan adanya perbedaan tradisi sastra yang berkembang. Berbagai konsep dan proses kreatif penciptaan puisi pada gilirannya memungkinkan dilakukan pemetaan untuk menganalisis setiap perkembangan yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir. Dengan tujuan yang lebih konkrit membaca fenomena tradisi sastra dalam perkembangannya di kelompok pluralisme sosial masyarakat Indonesia mutakhir.
Penyair dan karya puisi bisa jadi memiliki keterkaitan yang kuat dengan tradisi masyarakatnya. Akan tetapi, secara geografis, suku, agama, dan adat istiadat, sejumlah karya lain bisa jadi tidak memiliki batas keterkaitan dan keterikatan pada bentuk dan gaya penulisan. Karena itu, lingkungan kehidupan manusia dan benda-benda selalu dijadikan sebagai objek yang tidak hanya bersinggungan dengan dunia realitas, tetapi juga kontribusinya terhadap alam dan makhluk hidup.
Sasaran yang akan dicapai melalui Pesta Penyair Indonesia ini, mempertemukan setiap perbedaan. dengan semangat kedaerahan, membaca dan mengindentifikasi tradisi sastra yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat multietnis. Puisi Indonesia mutakhir dari para penyair yang kreatif dan produktif. Diharapkan akan memberi sumbangsih pemikiran bagi kemajuan dan perkembangan sastra ke depan, menciptakan keserasian dan keseimbangan bagi perkembangan sastra daerah dengan warna lokal sesuai budaya, suku, agama, dan adat istiadat.
Penyair dengan puisinya tetap aktif membangun kepekaan dalam berbagai lintas suku, agama, budaya, dan adat istiadat. Gerakan partisipatif pada relasi-relasi yang dibangun dengan keterkaitannya dalam dinamika sosial, politik, ekonomi, agama, dan kebudayaan yang hidup seiring dengan makin berkembang negara dan tata kota yang progresif.
III. Peserta dan Ketentuan Karya

· Peserta umum adalah penyair yang berdomisili di dalam wilayah Indonesia
· Peserta khusus adalah Penyair dari luar negeri yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia
· Mengirimkan karya puisi terbaru, belum pernah dipublikasikan atau diterbitkan dalam bentuk buku atau sejenisnya, maksimal 5 judul puisi
· Tema puisi bebas.
· Ditulis dalam bahasa Indonesia dan jika menggunakan bahasa daerah harus disertakan terjemahannya.
· Panjang puisi minimal 500 karakter maksimal 2000 karakter dan tidak mempertentangkan SARA
· Puisi tidak sedang diikutkan dalam lomba atau dalam kegiatan lainnya
· Sangat diharapkan membuat pernyataan secara tertulis tentang karya merupakan asli ciptaan sendiri, bukan saduran/ terjemahan dan bersedia untuk dibacakan
· Puisi akan diterbitkan dalam bentuk buku dan diberikan kepada setiap penyair 2 exemplar tanpa honorarium atau royalti.
· Batas akhir registrasi pendaftaran peserta dan pengiriman puisi tanggal 1 Oktober 31 Oktober 2007..
· Pengiriman puisi dan pendaftaran peserta melalui email : bangafrion@yahoo. com (koordinator panpel wilayah Medan - Sumatera dan atau jack_efendi@ yahoo.com (wilayah Jakarta, Jawa dan sekitarnya)
· Contact person: Afrion 081263423144, Antilan Purba 08126579407 (Medan) Jack Effendi Santoso 08569024880, Sarah 085715369270 (Jakarta)
`
IV. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Taman Budaya Sumatera Utara – Medan

Jum’at, 20 Nopember 2009 09.00 – 18.00 Registrasi peserta luar propinsi Sumatera Utara
dan Luar Negari

10.00 – 12.00 Lomba Puisi Penyair

12.00 – 14.00 Coffe Break/ISHOMA
14.00 – 18.00 lanjutan Lomba Puisi Penyair
18.00 – 19.30 ISHOMA
19.30 – 22.00 Panggung Kreatif /Gelar Puisi Penyair
22.00 – Acara bebas mandiri

Sabtu, 21 Nopember 2009 07.00 – 08.00 Serapan pagi
08.00 – 12.00 Pembukaan Pesta Penyair Indonesia
12.00 – 13.30 ISHOMA
13.30 – 18.00 Diskusi/Dialog Sastra
18.00 – 19.30 ISHOMA
19.30 – 22.00 Panggung Kreatif/Gelar Puisi Penyair
22.00 – Acara bebas mandiri

Minggu, 22 Nopember 2009 07.00 – 08.00 Serapan pagi
08.00 – 12.00 Diskusi/Dialog Sastra
12.00 – 13.30 ISHOMA
13.30 – 18.00 Diskusi/Dialog Sastra
18.00 – 19.30 ISHOMA
19.30 – 22.00 Panggung Kreatif/Gelar Drama
22.00 – Acara bebas mandiri ke Danau Toba


V. Terima Kasih

Terima kasih atas perhatian dan partisipasi semua pihak atas terselenggaranya Pesta Penyair Indonesia 2009 Sempena The 3rd Medan International Poetry Gathering

Medan, 3 Oktober 2009


Afrion
Ketua Pelaksana

Selasa

Lelaki dengan Kopia Resam

TIGA jam sudah berlalu, jet foil yang membawaku baru saja merapat di pelabuhan Muntok. Di sudut pulau, terlihat jelas sebuah mercusuar yang masih nampak gagah menatap setiap kapal yang hendak singgah. Ia seolah penjaga tua yang enggan dianggap renta..

“Uhs..shh!” kutarik nafas panjang sembari memperbaiki posisi duduk. Penatnya perjalanan tak begitu kurasakan. Semuanya terkalahkan oleh kerinduanku pada emak, bapak, dan adik Tyo yang masih kelas enam SD. Bagaimana tidak dua tahun bukan waktu yang singkat. Dan selama kurun waktu itu, aku benar-benar tumbuh bersama keras hari-hari didaratan – menuntut ilmu dan bekerja untuk membiayai kuliah.

Moncong jet foil mulai mencium pembatas dermaga, dan langsung disambut belasan laki-laki berseragam. Mereka dengan tergesa naik ke dek kapal, berebut menawarkan jasa angkut barang. Aku masih belum beranjak dari kursi. Pandangan kini kuarahkan pada bibir dermaga. Beberapa mobil minibus Mitsubishi L300 berjejer, siap menjemput penumpang yang akan meneruskan perjalanan ke kota lain.

”Maaf bang, ada barang?” Tanya seorang buruh angkut membuyarkan lamunanku.

”Ada.” jawabku sembari menyerahkan karcis pas barang.

”Tiga koli.” lanjutku. Buruh bertubuh gempal dengan mengenakan celana setengah tiang itu kemudian berlalu. Sementara aku mulai keluar dari kapal.

Siang itu, matahari begitu menyengat dan memaksaku menanggalkan jaket pemberian bapak satu tahun silam – sebagai kado ulang tahun. Sambil menunggu buruh mengambil barang. Aku berjalan ditepian dermaga yang panjangnya tak lebih dari lima puluh meter. Disepanjang dermaga penuh sesak dengan penumpang, para penjemput, kuli pelabuhan sampai para tukang ojek. Belum lagi ditambah kapal pengangkut barang di kanan dermaga yang juga sedang melakukan kegiatan bongkar muat. Semuanya membaur menjadi satu di pelabuhan yang konon usianya telah lebih dari dua ratus tahun.

Bang, pulang ke mane?” sekali lagi buruh angkut membuyarkan lamunanku.

”Ke Sungailiat!” jawabku singkat. Tak banyak yang kulakukan setelah itu. Selain melepaskan kembali pandangan ke setiap sudut pelabuhan. Barangkali tak banyak yang tahu akan keberadaan dermaga yang dibangun pada masa pemerintahan tuan-tuan Inggris, sekitar 1812-1816.

”Muntok adalah pelabuhan pertama yang dibangun di Bangka. Pemerintah Inggris melihat posisi kota Mentok yang terletak di pantai selatan Pulau Bangka bagian barat sangat strategis, karena langsung berhadapan dengan Palembang.” begitu kata pak Taufik guru sejarah SMA dulu.

Sesaat kemudian aku telah berada di ujung demaga. Posisi pelabuhan kecil ini begitu tersembunyi di dalam teluk, tentunya menguntungkan bagi kapal-kapal untuk berlindung dari ombak musim barat dan musim utara. ”Mungkin inilah yang sempat membuat Thomas Stanford Raffles kecewa ketika pemerintah Inggris menyerahkan Bangka kepada Belanda sebagai bagian dari perjanjian Traktat London ratusan tahun silam.” pikirku kemudian.

”Sudah lama tidak pulang ya?” tiba-tiba dari belakang datang suara mengejutkan perjalanan otak.

Hanya anggukan yang kuberikan, lelaki itupun tersenyum dan mendekat. ”Dulu diujung dermaga ini ada sebuah jembatan yang menjorok ke laut. Penumpang kapal-kapal besar biasa naik-turun menggunakan jembatan itu ke kapal yang lego jangkar di perairan.” lelaki tadi dengan santainya mulai bercerita tanpa diminta.

”Anak muda seperti dirimu sudah cukup sering kutemui di sini, yah sama seperti yang kau lakukan sekarang.”

Lelaki itupun terdiam sejurus kemudian. Sembari membenarkan letak kopiah resam yang menutupi rambut uban, dari bibir tuanya mulai bertutur lagi.

”Namun, jembatan itu rusak berat akibat dibom Jepang. Pada tahun 1949, sesaat sebelum penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik, sisa jembatan besi tersebut dibongkar seluruhnya oleh Belanda.”

”Ehm....Uhs....dan yang tersisa, seperti yang kau lihat sekarang. Hanyalah kolam pelabuhan seluas dua hektar dengan kedalaman air antara tiga sampai empat meter.”

”Bangka sesungguhnya membentang dari dua hingga tiga derajat ke arah timur. Kau pasti telah mengunjungi pulau itukan?” tanya pak tua.

”Sumatera?” jawabku.

”Gagah betul pulau ini dengan membentuk sebuah selat kecil. Ramai kapal berlayar dari Jawa maupun Sumatera menuju Eropa, Tiongkok, dan Jepang. Ia menjadi bagian penting dalam catatan sejarah pelayaran Nusantara yang hampir-hampir tak pernah mau dicatat.”

Aku terdiam dan semakin mendekat pak tua yang terus berceloteh seperti pelajaran sejarah.

”Tak hanya Timah atau pun Lada Putih yang tiap hari keluar pelabuhan ini, tetapi gadis-gadis cantik berparas melayu ikut mereka bawa dan para cukong hanya tertawa dipinggiran dermaga.”

Kubalikan tubuh dan menghadap sisi lain dari lelaki tua tadi, aku masih ingat cerita tentang bijih timah yang mendekati permukaan tanah – hingga putih itupun dengan mudah ditemukan orang-orang dari Kesultanan Palembang.

”Kenapa kau mempercayai dongeng itu juga” tiba-tiba lelaki itu kembali memotong perjalanan otakku.

Aku seolah-olah lelaki keci yang bodoh dengan alur pikirku pun mampu dibacanya. ”Jangan-jangan dia tahu juga kalo dari tadi aku kebingungan” terkaku.

”Jangan kau persulit dirimu sendiri, lebih rileks akan membuatmu menikmati perjalanan.”

Spontan kedua ujung alisku bertemu. ”Apalagi maksud lelaki tua ini”

”Pulau yang kau kenal bernama Bangka ini, dulunya benar ada sejumlah kecil timah metalik muncul ketika sebuah lapangan dibakar untuk dijadikan ladang oleh kakek buyutmu.”

”Tapi itu serta merta bisa kau yakini kebenarannya, atau kau lebih suka versi dongeng yang kusebut dengan dongeng debu timah.” cerocos lelaki tua mencoba membuatku tertarik.

”Debu Timah?” pikiranku semakin kacau dan tak jelas.

”Iya benar. Kesultanan begitu kuat menancapkan kekuasaanya di daratan yang mereka sebut sebagai tanah kemakmuran. Setiap kampung di daratan ini mesti memberikan upeti setiap masa yang telah ditentukan. Upeti itu berupa beberapa pikul paku yang kemudia akan diserahkan oleh Sultan Palembang. Masa itu masyarakat di kampung-kampung telah mengenai pengolahan besi terlebih dahulu. Namun sayangnya kebiasaan memberi upeti itu tidak dapat dilaksanakan oleh sebuah kampung.” Pak tua menarik napas.

”Kau tau apa yang kemudian terjadi” tanya pak tua.

”Kampung mereka dibakar.” tebakku.

”Iya. Cerita seperti ini memang mudah ditebak, hampir setiap dongeng yang kau tulis ulang pun bercerita seperti inikan?” tanya pak tua kembali.

Aku tak mau merespon ucapanya, karena semakin aku banyak bicara lelaki yang tak kukenali ini semakin mengetahui jalan pikiranku.

”Setelah kampung itu dibakar, muncullah timah logam dalam debu. Sejak saat itu Kesultanan lebih tertarik upeti berupa logam timah dibanting paku yang selama bertahun-tahun menjadi upeti.”

Orang muda sepertimu hendaknya lebih mengenal diri, kenali tempat lahirmu, baca tanda disetiap jejakmu, dan setelah itu barulah seberangi pulau ini dan temukan bagian dari daratan Bangka dan Belitung yang dulu telah lama hilang dari asalnya. Dan Kau Akan temukan di sana.” lelaki itupun membalikan tubuh lalu pergi.

Sepeninggalan lelaki yang tak kukenal tadi, tubuh ini mulai bergemetar dan nyeri mulai menusuk-nusuk persendian. Aku menarik napas, melengkung di pingiran dermaga. Serasa akan kususul pak tua itu -- tetapi kibas angin pelabuhan begitu liar menampar pipi. Mataku pun mulai dipenuhi burung layang-layang yang berkeliaran. Kulihat mereka seperti mengintai atau barangkali siap membawaku terbang. Tapi itu mungkin khayalan semata. Pastinya napasku terengah-engah. Dengan sigap entah dari mana datangnya, tiba-tiba sepasang lengan yang kokoh menangkap tubuh – hampir terpuruk menyentuh pembatas dermaga, yang kulihat sesaat kemudian hanyalah kolam pelabuhan dengan riak-riak asinnya tempat ikan-ikan kecil bermain.

”Hei,..” kalimat singkat sayup-sayup itu mulai terdengar menyambut diri yang perlahan mampu menggerakkan sebagian tubuh.

”Bertemu dengan pak tua rupanya kau.” tebak lelaki di sisi kiri dipan, tempat tubuhku terbaring. ”Ha,..pasti kau kebingungan dari mana aku mengetahui. Sudah, jangan kau pikirkan, saat ini, kau minum sajadulu!” lelaki itupun kemudian menyodorkan secangkir minuman hangat. Dari aromanya aku tahu kalau isi cangkir itu adalah air jahe, tapi alangkah terkejutnya ketika tegukan pertama, yang kurasa bukan air jahe yang biasa kuminum dulu ketika masih SMA.

”Kenapa kau pikir itu air jahe,...memang aromanya sama seperti terkamu tapi ini adalah minuman tradisional kampung kami, yah,...sama seperti jamu tradisional jika kau berada di tanah Jawa.” jelas lelaki itu kemudian.

”Ia selalu datang sesukanya dan kemudian meninggalkan sesuatu yang tak jelas seperti saat ini.” lelaki itu lagi-lagi menyampaikan sesuatu yang tak sedikitpun kumengerti.

Dan Aku Terdiam.***

Sungailiat 2007 – Jakarta, 11 Juli 2009

Cerpen Koko P Bhairawa ini telah dipublikasi di halaman Budaya Bangka Pos, edisi Minggu 12 Juli2009

Puisi Koko P Bhairawa: Nda

Nda

menatapku ketika lelap
mendarat senyum dimata
sesaat sebelum kedua kelopak membuka
kutemukan di layar netbook, dan pagi menyapa,..

pada dinding sesak sudah kata
status bertukar
tetap simpul bibir merekah di retina
tak bertemu di pagi, pesan datang di siang

sore menumpuk penat
bermula pada lembaran e-book, meruncing analisa
dan bermuara di keyboad
ada sejumput tawa di sisi lain meja

akhirnya ku tunggu di paruh waktu
seperti malam itu,
Nda,.

LT 8 WG, 24 Juli 2009

Kontes Inspirasi dan Harapan (KISAH) 2009

KISAH (Kontes Inspirasi dan Harapan) adalah lomba menulis tahunan yang diselenggarakan oleh ESENSI, divisi penerbitan Erlangga Group. LombaKisah 2009 ini mengangkat kisah sejati yang memberi inspirasi dan harapan, dengan tema berikut.

“Cinta Melampaui Masa”

Melalui KISAH, Esensi ingin menggugah hati semua orang untuk berbagi kisah yang memberi inspirasi dan semangat hidup pada pembacanya. Kisah nyata Cerita Cinta terhadap pasangan .

Syarat dan Ketentuan:

  1. Peserta adalah warga negara Indonesia laki-laki maupun perempuan berusia minimal 18 tahun.
  2. Tulisan bisa berisi kisah hidup pribadi, keluarga, atau orang lain berisi perjuangan hidup dan mendorong semangat sesama untuk meraih hidup yang lebih baik.
  3. Cerita ditulis dalam format narasi, baik dalam sudut pandang orang pertama (aku) atau orang ketiga.
  4. Kisah yang diceritakan adalah kisah nyata, bukan rekaan, terjemahan, saduran, atau jiplakan.
  5. Karya yang dikirimkan harus orisinal, belum pernah dipublikasikan, baik di media elektronik maupun cetak, dan belum pernah diikutsertakan dalam sayembara lain.
  6. Naskah diketik dengan komputer sepanjang 10 - 30 halaman A4, jenis huruf Times New Roman 11, dan spasi 1,5.
  7. Naskah dikirim dalam bentuk print out dan file (dalam CD). Sertakan biodata singkat penulis dan narasumber (jika menceritakan tentang orang lain), alamat lengkap, nomor telepon,dan foto kopi KTP. Tuliskan KISAH di sebelah kiri atas amplop.
Kirimkan naskah ke:

Panitia KISAH Divisi ESENSI, Penerbit Erlangga Jl. Haji Baping Raya No. 100 Ciracas, Pasar Rebo, Jakarta Timur, 13740 Telp. 021 - 8717006 ext. 229

Atau via e-mail ke:

lomba_kisah@ yahoo.com

Peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 naskah. Naskah yang masuk sepenuhnya menjadi milik panitia. Naskah paling lambat diterima pada 31 Juli 2009. Keputusan juri mengikat, tidak dapat diganggu gugat, dan tidak diadakan surat-menyurat

Untuk keterangan lebih lanjut klik http://www.erlangga .co.id

Hadiah:

  1. Pemenang 1 memperoleh uang sebesar Rp. 5.000.000. dan hadiah sponsor.
  2. Pemenang 2 memperoleh uang sebesar Rp. 3.000.000. dan hadiah sponsor
  3. Pemenang 3 memperoleh uang sebesar Rp. 2.000.000. dan hadiah sponsor.
  4. Sepuluh karya terbaik akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Erlangga sebanyak 10.000 eksemplar

Juri:

Zara Zettira Zr (Penulis Novel dan Skenario Sinetron), Alvin Adam (Juri Tamu),

Official Media Partner:

- Radio U FM Jakarta
- Radio KISS FM Medan
- Radio MGT Bandung
- Radio Female Semarang
- Radio Rakosa Jogjakarta
- Radio Kosmonita Surabaya

PERS RILIS TEMU SASTRAWAN INDONESIA II

TEMU SASTRAWAN INDONESIA II

Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, 30 Juli-2 Agustus 2009

“SASTRA INDONESIA PASCAKOLONIAL

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II akan diselenggarakan pada tanggal 30 Juli-2 Agustus 2009 di Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dengan mengambil tema“Sastra Indonesia Pascakolonial”.

Adapun kegiatan yang merupakan kelanjutan dari Temu Sastrawan Indonesia (TSI) I di Jambi pada tahun sebelumnya ini terdiri dari sejumlah agenda penting seperti:

Seminar/ Dialog Sastra

Terdiri dari empat (4) sesi dengan subtema:

a). “Merumuskan Kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas”

Pembicara: Agus R. Sarjono, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Saut Situmorang,Yasraf Amir Piliang. Moderator: Joni Ariadinata

b). “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial”

Pembicara: Dr. Syafrina Noorman, Haryatmoko, Katrin Bandel, Ph.D, Zen Hae, Moderator: Willy Siswanto

c). “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Muktahir: Mencari Subjek Pascakolonial”

Pembicara: Dra. Nenden Lilis Aisyah, M.Pd, Nurhayat Arif Permana, Zurmailis, Radhar Panca Dahana. Moderator: Triyanto Triwikromo

d). “Penerjemahan Sastra: Keharusan, Pilihan, atau Sekadar Perkenalan”

Pembicara: Anton Kurnia, Jean Coectou, Arif Bagus Prasetyo, John McGlynn, Moderator: Tia Setiadi

Malam Panggung Apresiasi : Acara ini berisi pembacaan sajak/ cerpen, musikalisasi puisi, teaterikal, monolog, dan pementasan kesenian-kesenian tradisi.

Penerbitan Buku Antologi : Ada dua buah buku antologi sastra yang diterbitkan dalam Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II ini, yaitu: “Jalan Menikung ke Bukit Timah” (antologi cerpen) dan “Pedas LadaPasir Kuarsa” (antologi puisi). Kedua buku ini memuat ratusan karya cerpenis/ penyair Indonesia yang dikuratori oleh Raudal Tanjung Banua.

Launching dan Bazar Buku : Ada sejumlah buku sastra muktahir yang akan dilaunching/ dibedah pada malam ketiga pelaksanaan TSI II.

Wisata Budaya

Demikianlah Pers Rilis ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami haturkan terima kasih. Salam sastra!

Pangkalpinang, 15 Juli 2009

Minggu

Dan Kau Telah Temukan

Cerpen ini telah dipublikasi di halaman budaya BANGKA POS (Bangka Belitung), edisi Minggu 28 Juni 2009


Apakah kicau burung-burung di kala pagi lebih baik dari pada teriakan mesin-mesin tambang di sisi utara perkampungan. Aku satu dari sekian banyak manusia yang kerap menemukan suara-suara tak jelas ketukan atau syair-syair tanpa pencipta yang didendangkan oleh penghuni di sisi lain pulau itu.

”Yah, beginilah pulauku. Sebuah daratan yang terbentuk dari gumpalan-gumpalan pasir hitam yang kemudian kukenal dengan sebutan timah--begitupun pasir putih yang begitu mempesona, hingga bisa menambah daratan di negeri singa yang mampu menukar butihan pasir dengan wewangian lembaran bernilai.”

”Usss.....ssss, jangan keras-keras berkata nanti terdengar angin--lalu disampaikanya pada penghuni lain!” suara lirih menggoda.

”Lalu salah jika mocong ini berbunyi dan mengeluarkan rangkaian kata yang sedikit pedas?”

”Kurasa tak terlalu, mungkin lebih pedas cabe yang tergigit tadi—karena cepat terasa dan langsung membutuhkan gula atau air sebagai penawar.” bisik mulai menggerogoti ruang di telinga kiri.

”Ah...., sudah jangan kau panasi suasana yang sudah semakin akut. Kepadatan penghuni jalanan cukup membuat orang-orang merasa lelah termasuk dia, jadi bila kau tambahkan dengan bumbu tadi maka habislah cerita kita—karena ia akan pergi ke negeri dongeng dan bercumbu dengan kekasihnya.” lirih suara menggoda.

”Ehm...aku tak mau ke negeri dongeng—karena semua disana hanya khayal dan ketika tersadar semua yang kutinggalkan semakin bertambah, jadi lebih baik aku ikut melewati semuanya dengan mata terbuka tetapi mulut tak menganga.”

Helai kain yang menutup diri lepas satu persatu dan jatuh di lantai yang mulai berganti warna bersama potong bulan yang semakin meninggi.

”Zzzzzzzzzzzzzzz”

”Hei, kenapa kau terdiam?” bisikan pindah di telinga sebelah kanan.

”Aku terjebak dalam keliaran malam yang menjemput, bulan diatas sana mungkin tersenyum padaku, kutemukan kau dalam rinai air mata yang jatuh dipundak dan ingin kuhantarkan hangat pada jiwa yang hampa.”

”Sebenarnya menatapmu dalam mimpipun aku menjadi lelah, mata terlalu cepat jatuh dan kehilangan selera. Ups..ada yang bertanya pada bisik di gelap hari—aku ada dimana ketika rasa mulai tertambat?”

”Sudahlah jangan kau cemarin otakmu yang mulai kelebihan beban itu dengan hal-hal yang memuakan. Mari tidur dan nikmati keindahan alam barzah,..” kembali, lagi dan lagi bisikan itu hadir di sisi kiri telinga.

Mata menatap tajam di sisi selatan ruang, di atas meja tergeletak sebuah majalah dengan terselip coretan merah melingkar. Halaman majalah itu tampak masih mulus, dan aroma khas kertas cetak begitu menyengat ketika hidung didekatkan.

Dahulu ramai kapal-kapal berlayar dan melewati perairan celah diantara dua pulau, Belitung dan Bangka. Namun, tak sedikit diantaranya celaka di Selat Gaspar itu. Kini, jalur laut berbentuk corong, dimana air yang berwarna biru kehijauan menyimpan sekawanan batu dan gosong karang kembali ramai, lantaran penyelam pengumpul teripang menemukan balok koral yang penuh dengan keramik peninggalan Dinasti Tang.

”Ayolah jangan kau buat lagi otakmu berputar, letakkan majalah itu” sisi kanan coba membujuk.

”Bersegeralah tidur, agar besok kau hirup udara pagi bersama suara jagomu”

”Kenapa kau begitu menikmati dongeng tentang kapal karam yang membawa sekitar 55.000 mangkuk yang dibuat ditempat-tempat pembakaran propinsi Hunan, puluhan mil dari tempatmu tinggal.” nada meninggi mulai berkeliaran di sisi kiri.

Aku tak sedang menikmati dongeng, tak salah bila kutahu tentang pulauku lebih banyak – walau aku tak sepulau.

”Ini dongeng kawan, hanya kebetulan belaka yang dihadirkan oleh alam dan para penyelam yang kata majalahmu itu telah menemukan situs arkeologi laut terpenting di Asia Tenggara.” kanan dan kiri terasa berisik dengan lontaran kata.

Ketidak setujuan bukan sebuah pilihan atas penemuan kapal layar tradisional Arab bertiang dua ”dhow” dari abad kesembilan yang bermuatan penuh kerajinan emas, perak dan keramik dari tanah Tiongkok. Ini benar, dan majalah telah dengan gamblangnya memuat tiap foto dan esai secara lengkap.

”Ah,..itu bisa-bisa penulisnya,...”

”Sudahlah hidupmu terlalu banyak dongeng,...” kiri dekat menggoda dengan ejekan tak mengenakan.

Ada sebuah pelayaran terbesar yang pernah hadir di sekitar pulau.

”Mulai lagi kau berdongeng kawan,..”

Tat kala laksamana besar Cheng Ho berlayar di 1405, tidak kurang 317 armada mengiringi beliau. Tiongkok menjadi tak terkalahkan di wilayah laut. Kemegahan ini pun menjadi bagian terpenting dalam perjalanan para saudagar Tiongkok yang ikut mendikte perniagaan di penjuru dunia. Ironisnya di dalam negeri sendiripun mereka ikut didikte oleh kebudayaan dan nilai-nilai asing. Setidaknya Confucius telah mencatat bagian itu.

”Kawan apalagi ceritamu di malam yang mulai merayap hingga menaikan selera tidur dan kemudian menghempaskannya hingga matapun terbelalak.” sepertinya sisi kanan mulai menyerah.

878 Masehi, setengah abad lebih sedikit setelah kapal ”dhow” karam. Pemimpin pemberontakan Huang Chao membakar dan menjarah Guangzhou, membunuh puluhan ribu warga muslim, yahudi, kriten dan parsi. Tak lama setelah berakhirnya perjalanan Cheng Ho, ketika Columbus mendarat di Dunia Baru. Pemikiran-pemikiran Confucius mulai terbukti; Tiongkok membakar armada kapalnya dan mulai menutup diri. Jalur-jalur perdagangan diabaikan hingga bangsa Portugis mulai mengambil alih.

”Kawan terbayang, tentang ramainya balok putih timah dan berton-ton muatan kapal membawa lada keluar dari pulau dan menjajah ditiap-tiap rumah tuan-tuan Eropa. Sedang kita menjadi terjajah oleh mereka.” si kiri menjadi tertegum dan berasumsi.

”Lalu kini apa yang kita nikmati” sisi kanan bertanya.

Sekarang ramai sudah dendang tanpa partitur dilantunkan ditiap terang hari dari penjuru pulau, meninggalkan dulang dikala musim nganggung, dan menyemarakan kotak-kotak putih di langgar dan masjid. Menjejalkan bangunan tinggi atas nama pembangunan dan menghilangkan ruang terbuka hijau. Menjajah laut perairan dengan jala-jala asing. Kesemuanya bukan milik kita – bukan gawe kite. Tidak di daratan, tidak juga di lautan, negeriku menjadi incaran banyak orang.

Sekarang subuh telah memanggil, mata mulai merapat,..

”Yah,..dan Kau Telah Temukan,..” kiri dan kanan bersorak.

”Kau Telah Temukan,..insomnia”,..*** (KOKO P. BHAIRAWA)

Kamis

Lomba Esai AJB 2009

Memperingati 97 Tahun Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, bekerjasama dengan Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSar MaLam), kami mengundang para blogger untuk mengikuti “Lomba Penulisan Esai.”


Sebagai asuransi tertua dan terbesar di Indonesia, Bumiputera dikenal peduli terhadap pengembangan kreativitas masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan lomba penulisan setiap tahunnya, termasuk menyelenggarakan Lomba Kreativitas Ilmiah Guru dan Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia. Sedangkan PaSar MaLam dikenal dengan kegiatannya seperti Sastra Reboan yang digulirkan secara rutin setiap hari Rabu akhir bulan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan.

Topik : “Asuransi dan Saya”

Persyaratan Peserta :

  1. Para blogger di seluruh Indonesia;
  2. Memiliki blog pribadi selama minimal 3 bulan per Maret 2009;
  3. Melampirkan daftar riwayat hidup, (termasuk alamat lengkap, nomor telepon, dan e-mail).
  4. Lomba ini tertutup bagi pegawai tetap (organik) AJB Bumiputera 1912.

Pelaksanaan Lomba :

  1. Esai ditulis di masing-masing blog pada periode April – Juni 2009.
  2. Alamat blog (URL) yang memuat artikel tersebut dikirimkan via email ke pihak panitia (Bumiputera): komunikasi@bumiputera.com.
  3. Tulisan tersebut akan diunduh oleh Pantiia, dan kemudian akan dilakukan penilaian oleh Dewan Juri.

Ketentuan Lomba :

  • Esai harus memiliki nilai manfaat bagi pengembangan pengetahuan masyarakat, khususnya pengetahuan tentang asuransi;
  • Setiap karya wajib menyebutkan kata “AJB Bumiputera 1912” sedikitnya satu kali.
  • Bentuk tulisan berupa esai dengan gaya bahasa yang cair, kreatif, dan tidak dalam bentuk makalah ilmiah.
  • Esai harus asli, bukan saduran atau terjemahan;
  • Esai belum pernah/tidak sedang diikutkan dalam lomba penulisan lainnya dan belum pernah dipublikasikan di media apapun;
  • Tulisan tidak mengandung SARA.
  • Esai yang menjadi pemenang akan dimuat di majalah “bumiputeranews” (hadiah sudah termasuk honorarium pemuatan);
  • Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat.
  • Pengumuman pemenang lomba penulisan akan dilakukan pada bulan Agustus 2009 di website AJB Bumiputera 1912 di http://www.bumiputera.com/, website panitia di http://www.bumiputeramenulis.com/ dan http://www.reboan.com/ .
  • Penyerahan hadiah dilaksanakan pada akhir Agustus 2009, yang tempat dan waktunya akan diberitahukan kepada para pemenang.

Tata Cara Pengiriman Esai :

  • Peserta lomba dapat menulis lebih dari satu esai;
  • Panjang tulisan tidak dilakukan pembatasan.

Untuk informasi lebih lanjut hubungi Bumiputera :
Telp. 021-5224565;
Faks. 021-5224566
Email : komunikasi@bumiputera.com

Hadiah :

  • Juara I : Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah) dan piagam penghargaan.
  • Juara II : Rp. 4.000.000,- (Empat juta rupiah) dan piagam penghargaan.
  • Juara III : Rp. 3.000.000,- (Tiga juta rupiah) dan piagam penghargaan.
  • Juara Harapan sebanyak 5 orang masing-masing sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu juta rupiah).
  • Pajak hadiah ditanggung oleh pemenang.

Lomba Penulisan Cerpen 2009

Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, bekerjasama dengan Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSar MaLam) “Lomba Penulisan Cerita Pendek (Cerpen).” Lomba ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan 97 tahun usia Bumiputera ini terbuka untuk umum, terutama para pecinta sastra.

Sebagai asuransi tertua dan terbesar di Indonesia, Bumiputera dikenal peduli terhadap pengembangan kreativitas masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan lomba penulisan setiap tahunnya, termasuk menyelenggarakan Lomba Kreativitas Ilmiah Guru dan Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia. Sedangkan PaSar MaLam dikenal dengan kegiatannya seperti Sastra Reboan yang digulirkan secara rutin setiap hari Rabu akhir bulan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan.

Topik : “Sosial, Human Interest”

Persyaratan Peserta :

  1. Masyarakat umum, warga negara Indonesia.
  2. Peserta boleh menggunakan nama samaran (namun nama asli tetap dicantumkan di daftar riwayat hidup).
  3. Melampirkan daftar riwayat hidup, (termasuk alamat lengkap, nomor telepon, dan e-mail).
  4. Lomba ini tertutup bagi pegawai tetap (organik) AJB Bumiputera 1912.

Ketentuan Lomba :

  1. Cerpen harus memiliki nilai manfaat bagi pengembanganpengetahuan, khususnya pengetahuan tentang asuransi;
  2. Cerpen tidak mengandung SARA.
  3. Bentuk tulisan dengan gaya bahasa yang cair, kreatif, dan tidak dalam bentuk makalah ilmiah.
  4. Setiap karya wajib menyebutkan kata “asuransi” dan “AJB Bumiputera 1912″ sedikitnya satu kali.
  5. Panjang cerpen maksimum 15.000 karakter, disajikan dalam teks Times New Romans, 1,5 spasi, dengan font 12.
  6. Cerpen harus asli, bukan saduran atau terjemahan;
  7. Cerpen belum pernah/tidak sedang diikutkan dalam lomba penulisan lainnya dan belum pernah dipublikasikan di mediaapapun;
  8. Cerpen ditunggu paling lambat tanggal 30 Juni 2009 pukul 24:00 (untuk email) dan berdasarkan cap pos untuk pengiriman melalui pos.
  9. Cerpen yang menjadi pemenang akan dimuat di majalah “bumiputeranews” (hadiah sudah termasuk honorarium pemuatan);
  10. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat.
  11. Pengumuman pemenang lomba penulisan akan dilakukan pada bulan Agustus 2009 di website AJB Bumiputera 1912 di http://www.bumiputera.com/, website PaSar MaLam di http://www.reboan.com/ dan website panitia di http://www.bumiputeramenulis.com/
  12. Penyerahan hadiah dilaksanakan pada akhir Agustus 2009, yang tempat dan waktunya akan diberitahukan kepada para pemenang.

Tata Cara Pengiriman Cerpen :

  • Peserta lomba dapat menulis lebih dari satu cerpen;
  • Cerpen dikirim melalui email ke komunikasi@bumiputera.com atau bila dalam bentuk hardcopy melalui pos ke alamat: Departemen Komunikasi Perusahaan, AJB Bumiputera 1912, Wisma Bumiputera Lantai 19, Jl. Jend. Sudirman Kav 75, Jakarta 12910

Untuk informasi lebih lanjut hubungi Bumiputera :
Telp. 021-5224565;
Faks. 021-5224566
Email : komunikasi@bumiputera.com

Hadiah :

  • Juara I : Rp. 5.000.000,- (Lima juta rupiah) dan Piagam Penghargaan.
  • Juara II : Rp. 4.000.000,- (Empat juta rupiah) dan PiagamPenghargaan.
  • Juara III : Rp. 3.000.000,- (Tiga juta rupiah) dan PiagamPenghargaan.
  • Juara Harapan sebanyak 5 orang masing-masing sebesar Rp.1.000.000,- (Satu juta rupiah).
  • Pajak hadiah ditanggung oleh pemenang.

Rabu

Orang Muda dalam Sastra Palembang Kini

Oleh: Prakoso B. Putera, Penulis dan Duta Bahasa Tingkat Nasional 2006

MENGAMATI kemunculan karya sastra, baik itu cerita pendek ataupun puisi di Sumatera Selatan (baca; Palembang) sejak pertengahan tahun 2005 sampai dengan hari ini mengalami perkembangan luar biasa. Media cetak lokal, dalam hal ini Koran harian Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, dan Berita Pagi, khususnya Sriwijaya Post begitu konsisten dalam memuat dan memunculkan nama-nama baru yang dari segi kualitas karya bisa dikatakan baik dan hampir menyamai para senior walupun para terdahulu mereka itu begitu berpengalaman. Jika boleh melihat dari segi usia, nama-nama baru tersebut bisa dikategorikan sebagai orang muda. Saya lebih suka menamai dengan orang muda karena usia mereka berkisar antara 17 tahun sampai 29 tahun.

Orang-orang muda begitu bersemangat memburu publikasi di koran-koran lokal Minggu. Tak ayal, di hari yang sama nama tertentu bisa terpajang di dua – tiga media berbeda (tentunya dengan judul karya dan isi yang berbeda). Tiga karyanya (baik itu cerpen atau puisi) dimuat ditiga rubrik budaya Koran Minggu berbeda, pada hari yang sama. Mereka begitu bersemangat setiap karya muncul di koran Minggu, walau demikian sebuah ketakutan pada diri saya kemudian muncul apakah dengan mengejar jumlah publikasi, kualitas karya tetap diperhatikan.


Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di lokal Palembang saja, di media-media Nasional pun acap kali memunculkan nama tertentu dalam beberapa media pada ahri yang sama. Akan tetapi ketakutan saya cepat terjawab, orang-orang muda tersebut selain gemar menyerbu koran Minggu lokal mereka juga tidak lupa menyerbu para pendahuluanya untuk sekedar bertanya tentang sebuah karya ataupun berdiskusi ringan. Sebut saja sejumlah wilayah-wilayah diskusi orang-orang muda tersebut, Akademi Sastra Palembang (ASAP), Forum Lingkar Pena (FLP), riakmusi – sebuah komunitas yang baru eksis di Palembang, dan beberapa wahana yang maaf tidak mampu untuk saya tuliskan. Dengan lapang dada mereka menerima nasihat dan bersuka cita setiap menerima masukan dari para terdahulunya.


Memang produktivitas kadang-kadang tidak serta merta berarti positif bagi masa depan kepengarangan. Bila tidak hati-hati, kualitas karya akan sulit dipertahankan, energi kreatif yang diforsir amat beresiko melahirkan karya-karya prematur, sukar dipertanggungjawabkan, baik secara estetik maupun tematik. Gejala ini semoga tidak cepat terjadi dengan orang-orang muda yang saat ini begitu bersemangat memburu koran Minggu maupun berdiskusi untuk memperkaya apresiasi karya.


Peran Media (Redaktur Budaya)

Jika berbicara peran media, semuanya tidak lepas dari redaktur budaya yang bertanggung jawab dalam setiap kemunculan karya-karya di koran Minggu. Adalah Sriwijaya Post seperti yang saya singgung sebelumnya begitu konsisten memunculkan nama dan karya orang-orang muda tersebut (mohon maaf kepada koran-koran lokal lainnya, bukan maksud untuk mengistimewahkan). Orang muda tentu ingin karyanya dibaca orang terlebih para terdahulunya, dan kalau mau dibaca tentu harus dipublikasi – koran Minggu adalah jawaban, lalu apa salah jika karya-karya mereka begitu banyak bertebaran di Minggu lokal. Emm..mungkin kesalahannya karena sering bahkan terlalu sering mencaplok lahan penulis ataupun pemburu lain. Maklumlah, jumlah koran yang menyediakan ruang publikasi puisi, cerita pendek, dan esai budaya amat terbatas, sementara jumlah peminatnya makin membeludak.


Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah kebijakan redaksional setiap media selalu didasarkan pada mekanisme seleksi. Artinya, hanya karya-karya bermutu yang akan terpilih sebagai pengisi rubrik budaya. Boleh-boleh saja orang-orang muda tersebut melayangkan setiap karya mereka. Soal mereka terlalu memburu dan sudah mencandu pada publikasi koran, soal produktivitas dan soal kualitas kita serahkan kepada pembaca untuk menilai. Tugas mereka hanya menghidangkan bacaan yang renyah, gampang dicerna, enak dibaca, setelah itu terserah pembaca.


Kehadiran orang-orang muda tersebut bukan sekedar jago kandang saja, sejumlah dari mereka telah berhasil melakukan ekspansi kesejumlah media lain. Sebut saja Padang Ekspres, Lampung Post, Bangka Pos, Annida, Suara Karya, dan Cinta. Karya-karya mereka pun ternyata diminati oleh para redaktur budaya pada media-media tersebut.


Mereka Penulis Palembang Juga

Jika publikasi media belum cukup untuk menguatkan dan mengkukuhkan mereka sebagai penulis-penulis Palembang, maka sejumlah nama dari orang-orang muda tersebut telah diakui karyanya sebagai karya terbaik dalam beberapa kompetisi penulisan karya sastra ditingkat nasional. Sebut saja, Rendi Fadillah yang pernah menjadi juara Harapan dalam Sayembara Cerpen Krakatau Award, Dewan Kesenian Lampung di tahun 2005, di tahun yang sama Koko P. Bhairawa berhasil mensejajarkan namanya dengan cerpenis seperti Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta), Aris Kurniawan (Tanggerang), MN Age (Aceh), dan Satmoko (Yogyakarta) sebagai nominator sayembara cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, lalu Ikhtiar Hidayati yang kerap menjadi nominator dan pemenang dalam sayembara penulis cerpen tingkat nasional yang diselenggrakan oleh Pusat Bahasa, ada juga Azzura Dayana, dengan Novel remajanya Alabaster yang mengambil setting Canberra dan Adelaide memenangkan Lomba Menulis Novel Gema Insani Press. Cerpen Lampion, menyabet penghargaan terbaik kedua pada Festival Kreativitas Pemuda 2004 yang diadakan oleh Creative Writing Institute dan Diknas, dan beberapa nama lainnya.


Jika buku yang kemudian menjadi tuntutan atau barometer, maka dengan ini dapat saya pastikan mereka telah mampu menerbitkan karya dalam sejumlah buku dari beberapa penerbitan besar seperti Grasindo, Gema Insani Press, Cinta, Zikrul – Bestari, CWI dan lain-lainya. Bukan hanya itu sejumlah karya mereka seperti puisi dan cerpen acap kali diterbitkan dalam antalogi bersama yang dibukukan secara nasional oleh sejumlah penerbit, walau sampai dengan hari ini niat orang-orang muda itu untuk melahirkan antalogi bersama dibawah label Dewan Kesenian dan penerbitan lokal belum tercapai.


Akhirnya walau sedikit terlambat, ucapan selamat datang orang-orang muda (Pinasti S. Zuhri, Rendi Fadillah, Koko P. Bhairawa, Azzura Dayana, Ikhtiar Hidayati, Nurrahman, Haris Munandar, Dahlia, Handayani, Dian Rennu) dalam percaturan sastra Palembang layak mereka dapatkan. Sebuah pekerja rumah yang sedang menanti didepan adalah meneruskan semangat memburu publikasi bukan hanya di media lokal tapi media nasional seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Tempo bahkan majalah sastra Horison. Kita nantikan kiprah mereka di jagad sastra Indonesia.***

Jumat

Membatu

LANGIT terasa hampa dalam dingin malam yang telah berintegral dengan hujan. Serpihan air tak henti menjatuhkan diri, kemudian dengan bersamaan dan perlahan menghujam pada tiap lapisan tanah. Namun, diantara semua, ada juga yang tak mampu merapatkan diri hingga ke dasar paling dalam. Mereka sepertinya kehabisan energi sehingga hanya mampu mengelompokkan diri pada genangan di permukaan. Tapi pada lensaku itu tak ada, kini. Kuterus menjejak, pepohonan terlihat melebarkan tawa menyambut kedatangan. Tunas-tunas tampak asyik memainkan tiap butir air yang jatuh mengenai tubuh hijaunya. “Indah betul negeri ini!”.

Sesaat jejak mengecil bersama gemertak rumpun bambu. Daun-daunnya berayun manja.

“Kau telah lama tak datang!”

“Apa kau tak rindukan kami?”

Kini jejak benar-benar terhenti. “Rinduku telah tersayat pada tiap celoteh burung-burung gereja yang acapkali mengabari duka kekasih.”

Pada kelam hari kutemukan ada yang duduk bersilah pada pokok pohon yang telah ditinggalkan pucuk-pucuk kuning, ranting-ranting kopong dan getah menyengat. Sebelah tangannya terbuka menadah tetes liur punggawa, sedang satu bagian jari-jari terlukanya asyik memainkan tiap helai rambut sang dewa. Ia telah meluruhkan pekat semerbak tropis – melambungkan darah hingga titik tertinggi pada pendewasaan jiwa. Sesaat berlalu, dari hitam malam satu persatu penghuni mengitarinya.

“Hai, apa yang kau lakukan disini?” dari rimbun malam sesosok tampak sudah. Pandangannya jauh ke depan. Ia telah menunggu sejak kepergiaan kuterakhir. Dan selama itu, pada kumpulan bebatuan ia mengawasi semua yang datang dan pergi.

“Aku menunggumu!” kata-katanya seolah sedang marah. Tapi sungguh aneh, aku tak mengenal siapa dia. Kenapa ia marah padaku?

“Kau tak mengenalku?”

“Kau yang menjadikan aku menunggu.”

Kulepaskan pandangan dengan seksama, sekeliling begitu gelap hanya beberapa nyala pelita yang menatulkan cahaya. Aku kemudian merendahkan tubuh, tangan mengusap-usap tepat dibagian bawah tubuh. Sesuatu begitu keras mulai kurasakan. Pusat syaraf pun mengamini.

“Nah, kau sadar kenapa aku menunggu?”

“Itu ulahmu!” suaranya semakin meninggi sembari melirikkan pandang.

“Setiap jejak yang kau tinggalkan menjadi rahmat bagi orang-orang disana. Kata orang-orang jejakmu menjadikan mereka terhormat dan dihormati. Hingga wajar saja, pada tiap jengkal yang telah berlumpur dan berwarna coklat airnya menjadikan orang-orang berbondong datang dengan membawa batu-batuan. Orang-orang lalu menabur pada tiap jejakmu. Sampai akhirnya tak ada lagi kubangan tempat sapi mandi ataupun kambing sekadar menumpang minum” pandangannya kembali menjauh. Entah sadar atau tidak kalau diri telah begitu dekat dengannya.

“Kau sadar sekarang? Jangan mengelak!”

Aku hanya membulatkan mulut, sepertinya molekul ingatanku terlalu padat. Rongga pun terlalu sesak. Agak lama aku memilah berkas mana yang berhubungan dengan ucapannya. Tapi hingga seperempat perjalan jam belum juga kutemukan.

“Kau telah membuat semua berubah, orang-orang yang dulunya hidup dalam surga kau kenalkan dengan buah-buah terlarang. Dulu mereka hidup dengan damai sampai kau dan jejakmu menjadikan semuanya aneh. Dan sungai yang telah memberikan banyak ikan menjadi sepi dari kail ataupun jala, bahkan mulai ditinggalkan perahu-perahu berjiwa. Sawah ladang tempat padi dan sumber penghidupan hadir menjadi lengang dari sabit ataupun parang panjang. Ternak-ternak tanpa kesusahan mendapatkan minum dan panganan di sabana. Semunya menjadikan orang-orang itu betah berlama-lama mendiami negeri surga ini”

“Ha...ha...ha...!” dentum tawa keluar dari mulutnya. Sesaat kemudian matanya yang merah memandangku lekat, mimiknya perlahan berubah penuh kebencian. Aku semakin menjadi orang bodoh dihadapannya.

“Kau datang sebagai khalifah di negeri surga ini.” lanjutnya.

“Semua kata yang keluar menjadi pedoman bagi orang-orang itu, dan mereka bertingkah seperti yang kau tuturkan.”

Aku benar-benar tak mampu menuturkan sedikit kata. Tak ada yang bisa diterima oleh memori otak kecilku. Ucapannya menjadikan aku semakin terpojok dengan hal-hal gila dan benar-benar tak kuketahui. Hingga migren dengan cepatnya menyerang. Aku kemudian menjejak menjauh. Pantulan pelita yang kulihat, begitu mempesona. Cahayanya terlihat memanjang mengikuti tubuh anak sungai.

Tapi tiba-tiba derap kaki membelah kesunyian malam. Mataku belum menangkap siapa-siapa pemilik derap itu. Namun, yang terlihat hanyalah nyala api yang menjilati sisa hujan.

“Nah, kau masih belum sadar juga. Orang-orang itu kembali mendatangi tempat dimana buah-buah terlarang itu ada. Mereka sekarang menjadi kehilangan selera berlama-lama menjemur padi, menanamkan kaki pada lumpur sawah, atau menarikan jemari pada tiap sela pucuk-pucuk rumpun lada. Alhasil, mereka menjual semua yang dipunyai. Mulai dari padi, lada sampai hektar garapan harus berganti dengan setumpuk kertas bernilai.”

Aku terhenyak. Tak kupikirkan kalau yang ia maksud adalah ini semua. Ketika, aku mulai berhasil menarik berkas itu. Dengan gagahnya sekelompok orang melewati tubuhku. Aku mulai merasa aneh. Setelah kelompok pertama berlalu, tubuh pun kucoba berdiri. Tapi belum setengah kutegakkan tubuh, kelompok kedua tanpa menghiraukan menjejak ditubuhku yang mulai kehilangan udara. Perlahan mataku kabur dan akhirnya tak terlihat mereka yang ada diatas tubuhku.

“Mereka tak lagi mengenaliku. Mereka lebih kenal dengan buah-buahan terlarang yang dulu pernah kubagikan pada mereka?”

Pada detik berikutnya tubuhku telah merapatkan diri dengan jalanan yang telah berbatu. Lalu ruang-ruang itu menjadi sepi dan kembali menyendiri menyaksikan tubuhku yang dipenuhi mimpi. Membatu bersama jalanan yang telah berbatu.***

Palembang, 15 April 2006

by: Koko P Bhairawa

PAGI ITU...

- mengenang (an) mantan pacar

pagi itu kau datang dengan
sebilah belati yang kau tancapkan
di hati..
lalu rerumputan segar menikmati
tiap hemoglobin yang jatuh
walau basah embun selalu
mencuci butir-butir merah
: terima kasih
lahirku sebagai penjelajah sunyi
dan menit-menit akan terasa ringkas
kini..

by: koko p bhairawa

Kamis

Jejak Surat Cinta

“INI yang kelima kalinya surat tanpa pengirim yang gue terima!” pekik Ika dalam hati, ketika melihat sebuat surat di sela lembaran buku tugas yang baru dibagikan. Seperti isi surat yang lalu, begitu romantis.

Ika sayang kenapa kamu tidak datang di Taman Kota sore kemarin? Ika aku sangat mencintaimu”.

Ika merasa mual ingin muntah begitu membacanya. “Dasar cowok iseng” katanya lirih. Bel tanda pulang berbunyi. Ika yang tergolong “anak babe” itu menuju parkir kendaraan. Belum sampai di pelataran parkir, ia terkejut ketika merogoh sakunya, “Ya ampun, kunci motor gue!”. Cepat-cepat ia balik 180 derajat kembali ke kelas.

“Ini dia!” kata Ika menimang-nimang kunci motornya, tetapi ia jadi heran ketika menemukan kumalan surat yang ia buang di tong sampah tadi sudah ada di atas mejanya. Jantungnya makin berdebar karena di sebelah kumalan tersebut terdapat sepucuk surat beramplop putih. Seisi kelas kosong, hening dan sepi. Apalagi ditambah tulisan di sampul surat bertinta merah. Ih…ngeri” bergegas Ika meninggalkan kelas.


***

“Surat misterius lagi !” pekik Ika. Matanya setengah melotot melihat surat tanpa pengirim. Dari dalam tubuhnya, keringat dingin mengucur, detak jantungnya terdengar. Sepucuk surat tergeletak di atas meja. Seisi kelas yang masih tampak kosong, hanya meja, kursi dan beberapa gambar pahlawan dengan figura jati. Maklum saja, Ika kalau sedang giliran piket kelas paling pagi datangnya.

“Siapa ya yang meletakan surat ini? tanya sama siapa?” batinnya bertanya. “Apa sama kursi, meja. Ah bodoh amat, emangnya gue pikirin


“Pagi non !” sapa cowok idola SMA-nya itu.
“Eh, kamu…Di-di. Piket ya?” tanya Ika agak terkejut. “Iya donk, masak sama temen satu kelas lupa?”

“Aduh, kenapa gue sampai lupa sama cowok sekeren Andi” batinnya berkata.


***

Ika, ini jejak terakhir untukmu. Temui aku di kantin sekolah, Istirahat pertama nanti.
Aku

“Apa, jejak terakhir, jejak terakhir apa?” pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Ika hingga bel istirahat pertama berbunyi. Baru Ika mau melangkah keluar kelas. “Ika kemari sebentar!” panggil Bu Eva, guru Matematikanya.

“Kamu bendahara kelas ya?” tanya Bu Eva. “Iya Bu”


“Kalau begitu tolong uang Buku LKS (Lembar Kerja Siswa) Matematika dikumpul secepatnya” lanjut Bu Eva. Dengan langkah agak dipercepat ia menuju kantin sekolah.


“Ika, kemari sebentar!” kali ini giliran Pak Irawan, guru Olahraga sekaligus Pembina OSIS yang terkenal ditakuti anak-anak SMA 2, memanggilnya.”Nanti sore rapat OSIS. Jangan lupa bawa buku kas OSIS” ingat Pak Irawan. Begitu Pak Irawan mengakhiri pembicaraan langsung disambut bel masuk. Dengan wajah kecewa Ika masuk ke kelasnya.


***

Seminggu sudah Ika aman dari surat misterius. Tetapi sejak Kamis minggu lalu, cewek-cewek di SMU 2 gempar. Soalnya cowok yang serba wah, wah pintarnya, wah kerennya, wah aktifnya dan wah…wah…, pindah ke Palembang.


“Ika loe tidak merasa kehilangan atas kepindahan Andi, si cowok super wah kita itu?” tanya Eria. “Kenapa gue sibuk-sibuk, cowok gue bukan.
Gitu aja dipikirin” jawab Ika santai. Tetapi dalam hati, Ika juga merasa sedih. Ternyata Ika diam-diam sudah sejak lama suka dengan Andi, tapi ia tidak berani mengungkapkannya.

“Ika, nih ada surat buat loe” kata Rima.


***

Ika membuka amplop surat bertanda kilat khusus yang ia terima pagi tadi di sekolah dan perlahan ia membaca isinya.

Dear Ika

Ika, tentu selama satu minggu ini loe merasa aman karena sudah tidak ada surat misterius lagi. Sebenarnya gue pengen bilang “I Love You” saat di kantin sekolah minggu lalu. Tapi sudah gue tunggu-tunggu loe nggak datang juga. Ika sungguh gue nggak bohong, gue cinta sama loe. Bila loe ada waktu please balas surat gue.

With Love Andi.

Oh my God. Andi ternyata orang yang selama ini mengirimkan surat misterius. “Kenapa gue nggak tahu kalau Andi suka sama gue” sesal Ika.

Kini jejak surat cinta telah berakhir. Andi lah orang yang membuat Ika bertanya-tanya dan menjadi dalang surat misterius itu “Coba dari dulu gue tahu” ratap Ika.

Selasa

Halaman Baru

Ini adalah tampilan baru, semoga suka