Jumat

Membatu

LANGIT terasa hampa dalam dingin malam yang telah berintegral dengan hujan. Serpihan air tak henti menjatuhkan diri, kemudian dengan bersamaan dan perlahan menghujam pada tiap lapisan tanah. Namun, diantara semua, ada juga yang tak mampu merapatkan diri hingga ke dasar paling dalam. Mereka sepertinya kehabisan energi sehingga hanya mampu mengelompokkan diri pada genangan di permukaan. Tapi pada lensaku itu tak ada, kini. Kuterus menjejak, pepohonan terlihat melebarkan tawa menyambut kedatangan. Tunas-tunas tampak asyik memainkan tiap butir air yang jatuh mengenai tubuh hijaunya. “Indah betul negeri ini!”.

Sesaat jejak mengecil bersama gemertak rumpun bambu. Daun-daunnya berayun manja.

“Kau telah lama tak datang!”

“Apa kau tak rindukan kami?”

Kini jejak benar-benar terhenti. “Rinduku telah tersayat pada tiap celoteh burung-burung gereja yang acapkali mengabari duka kekasih.”

Pada kelam hari kutemukan ada yang duduk bersilah pada pokok pohon yang telah ditinggalkan pucuk-pucuk kuning, ranting-ranting kopong dan getah menyengat. Sebelah tangannya terbuka menadah tetes liur punggawa, sedang satu bagian jari-jari terlukanya asyik memainkan tiap helai rambut sang dewa. Ia telah meluruhkan pekat semerbak tropis – melambungkan darah hingga titik tertinggi pada pendewasaan jiwa. Sesaat berlalu, dari hitam malam satu persatu penghuni mengitarinya.

“Hai, apa yang kau lakukan disini?” dari rimbun malam sesosok tampak sudah. Pandangannya jauh ke depan. Ia telah menunggu sejak kepergiaan kuterakhir. Dan selama itu, pada kumpulan bebatuan ia mengawasi semua yang datang dan pergi.

“Aku menunggumu!” kata-katanya seolah sedang marah. Tapi sungguh aneh, aku tak mengenal siapa dia. Kenapa ia marah padaku?

“Kau tak mengenalku?”

“Kau yang menjadikan aku menunggu.”

Kulepaskan pandangan dengan seksama, sekeliling begitu gelap hanya beberapa nyala pelita yang menatulkan cahaya. Aku kemudian merendahkan tubuh, tangan mengusap-usap tepat dibagian bawah tubuh. Sesuatu begitu keras mulai kurasakan. Pusat syaraf pun mengamini.

“Nah, kau sadar kenapa aku menunggu?”

“Itu ulahmu!” suaranya semakin meninggi sembari melirikkan pandang.

“Setiap jejak yang kau tinggalkan menjadi rahmat bagi orang-orang disana. Kata orang-orang jejakmu menjadikan mereka terhormat dan dihormati. Hingga wajar saja, pada tiap jengkal yang telah berlumpur dan berwarna coklat airnya menjadikan orang-orang berbondong datang dengan membawa batu-batuan. Orang-orang lalu menabur pada tiap jejakmu. Sampai akhirnya tak ada lagi kubangan tempat sapi mandi ataupun kambing sekadar menumpang minum” pandangannya kembali menjauh. Entah sadar atau tidak kalau diri telah begitu dekat dengannya.

“Kau sadar sekarang? Jangan mengelak!”

Aku hanya membulatkan mulut, sepertinya molekul ingatanku terlalu padat. Rongga pun terlalu sesak. Agak lama aku memilah berkas mana yang berhubungan dengan ucapannya. Tapi hingga seperempat perjalan jam belum juga kutemukan.

“Kau telah membuat semua berubah, orang-orang yang dulunya hidup dalam surga kau kenalkan dengan buah-buah terlarang. Dulu mereka hidup dengan damai sampai kau dan jejakmu menjadikan semuanya aneh. Dan sungai yang telah memberikan banyak ikan menjadi sepi dari kail ataupun jala, bahkan mulai ditinggalkan perahu-perahu berjiwa. Sawah ladang tempat padi dan sumber penghidupan hadir menjadi lengang dari sabit ataupun parang panjang. Ternak-ternak tanpa kesusahan mendapatkan minum dan panganan di sabana. Semunya menjadikan orang-orang itu betah berlama-lama mendiami negeri surga ini”

“Ha...ha...ha...!” dentum tawa keluar dari mulutnya. Sesaat kemudian matanya yang merah memandangku lekat, mimiknya perlahan berubah penuh kebencian. Aku semakin menjadi orang bodoh dihadapannya.

“Kau datang sebagai khalifah di negeri surga ini.” lanjutnya.

“Semua kata yang keluar menjadi pedoman bagi orang-orang itu, dan mereka bertingkah seperti yang kau tuturkan.”

Aku benar-benar tak mampu menuturkan sedikit kata. Tak ada yang bisa diterima oleh memori otak kecilku. Ucapannya menjadikan aku semakin terpojok dengan hal-hal gila dan benar-benar tak kuketahui. Hingga migren dengan cepatnya menyerang. Aku kemudian menjejak menjauh. Pantulan pelita yang kulihat, begitu mempesona. Cahayanya terlihat memanjang mengikuti tubuh anak sungai.

Tapi tiba-tiba derap kaki membelah kesunyian malam. Mataku belum menangkap siapa-siapa pemilik derap itu. Namun, yang terlihat hanyalah nyala api yang menjilati sisa hujan.

“Nah, kau masih belum sadar juga. Orang-orang itu kembali mendatangi tempat dimana buah-buah terlarang itu ada. Mereka sekarang menjadi kehilangan selera berlama-lama menjemur padi, menanamkan kaki pada lumpur sawah, atau menarikan jemari pada tiap sela pucuk-pucuk rumpun lada. Alhasil, mereka menjual semua yang dipunyai. Mulai dari padi, lada sampai hektar garapan harus berganti dengan setumpuk kertas bernilai.”

Aku terhenyak. Tak kupikirkan kalau yang ia maksud adalah ini semua. Ketika, aku mulai berhasil menarik berkas itu. Dengan gagahnya sekelompok orang melewati tubuhku. Aku mulai merasa aneh. Setelah kelompok pertama berlalu, tubuh pun kucoba berdiri. Tapi belum setengah kutegakkan tubuh, kelompok kedua tanpa menghiraukan menjejak ditubuhku yang mulai kehilangan udara. Perlahan mataku kabur dan akhirnya tak terlihat mereka yang ada diatas tubuhku.

“Mereka tak lagi mengenaliku. Mereka lebih kenal dengan buah-buahan terlarang yang dulu pernah kubagikan pada mereka?”

Pada detik berikutnya tubuhku telah merapatkan diri dengan jalanan yang telah berbatu. Lalu ruang-ruang itu menjadi sepi dan kembali menyendiri menyaksikan tubuhku yang dipenuhi mimpi. Membatu bersama jalanan yang telah berbatu.***

Palembang, 15 April 2006

by: Koko P Bhairawa

Tidak ada komentar: