Jumat

Violent

Violent...

mini teenlit: R. Panji Bhairawa


mini teenlit ini telah dipublikasi di Singgalang, edisi 23 September 2007

SAYA tak pernah menyesali ketika semuanya terjadi, sebaliknya saya mulai berfikir kalau saja waktu itu tidak bertemu dengan dia, mungkin tidak akan seperti sekarang.”

Kalimat itu selalu mengganggu pikiran. Bukan hanya karena yang menuturkannya adalah seorang perempuan berparas cantik, tapi ia begitu tenang setiap melemparkan kalimat demi kalimat saat di pelataran Benteng tempo hari.

Sore di Selasa minggu kedua bulan September, aku kembali menghabiskan waktu di pinggiran Benteng. Sama seperti kala itu, duduk dengan mata terbuka menatap setiap pemandangan yang begitu indah di bola mata. Dari hati terdalam tersimpu doa, berharap agar perempuan yang pernah menemuiku tepat di hari yang sama di bulan kemarin dapat bertemu lagi.

Hampir sepuluh menit aku terdiam dengan mata menerawang entah kemana. Hingga seorang anak kecil, bertubuh kurus dan berambut ikal dari sisi kiri datang menawarkan air mineral. ”Minumnya kak!” seru bocah yang seusia adik Tyo di kampung seberang.

In’dak..!” jawabku seadanya.

Sesaat kemudian entah kenapa korneaku begitu risih menyaksikan sepasang lelaki-perempuan muda di pinggir kanan tanpa kikuk berpelukan. Mereka begitu menikmati romansa hidup secara merdeka dan dunia adalah milik mereka berdua saja. ”He..he..” tawa kecil menghias di wajah timur tengahku.

Hari semakin sore bersama air yang mulai beriak memantulkan jingga dari sang matahari senja. Saat seperti inilah yang selalu mengobati kegundahan hati dan ketidak mengertian setelah semuanya terjadi. Aku lelah menanti senyum itu datang tapi selalu saja tak mampu kubuang jauh-jauh bayanganmu.

”Uhs,..andai saja kau ada disebelahku, mungkin ku kan ceritakan tentang gundah dan kucurahkan semua kerinduan.. andai saja kau masih menjadi bagian dari orang-orang yang bisa tertawa dan menapaki setiap jengkal bumi ini, andai saja..!” hatiku bicara entah kemana.

Sesaat kemudian,... “Maaf, boleh saya duduk di sebelah anda?” tiba-tiba terdengar suara mengejutkan. Hatiku berdetak, sepertinya aku pernah mendengar suara seperti ini. Segera ku tolehkan samping kanan asal suara. Seorang perempuan berbaju hitam, kembang-kembang biru. Ia mengenakan kacamata hitam. Sebuah syal berwarna ungu kehitaman melilit lehernya.

Maaf sepertinya kita pernah bertemu?” ucapku kemudian.

Perempuan itu hanya tersenyum, otak kecilku terus berputar mengaduk-aduk file,..”Oh, ini kan perempuan yang seharusnya kutemui bulan lalu.” batinku berkata mantap.

Ehm..ya..benar dia lah orangnya.” lanjut batinku. Tak banyak yang berubah dengan perempuan itu. Tangan kanannya masih membawa kantung berisi kentang goreng dan segelas capucino sama seperti saat kemarin bertemu, kacamata hitam masih menghiasi wajah putihnya, walau demikiantak berarti kecantikannya tertutupi pula. Jelas terlihat olehku, ia adalah perempuan yang sangat cantik.

”Sepertinya kau tak pernah bosan datang,” dengan nada sedikit rendah hati perempuan tadi membuka pembicaraan. Aku kini kembali terdiam. ”Apa maksudnya..?” tanyaku dalam hati.

Bingung, atau seorang yang dulunya selalu punya cerita-cerita lucu dengan keceriaanya telah mati oleh waktu.” lanjutnya sembari menyeruput capucino.

”Apa maksudmu?” kali ini pertanyaan itu benar-benar keluar dari mulutku.

”Perempuan terkadang bisa merubah semua yang diinginkannya, tapi kurasa bukan keinginan dia untuk merubahmu menjadi seperti saat ini. Hanya bisa duduk dan bengong memandang riak musi dan jingga di angkasa. Ayo lah Panji mana semangatmu..!” kali ini aku benar-benar keheranan, ”Panji, dari mana dia mengetahui nama kecilku. Sejak aku pindah ke kota ini tak seorangpun tau akan nama itu.” hatiku bertanya-tanya.

”Jika saja dia masih menjadi bagian dari kita, mungkin tak lama tinjuan khas darinya akan mendarat di perutmu,..kamu taukan kalau dia paling tidak suka melihat orang yang dicintainya diam dalam kesedihan yang berlarut-larut.” kali ini perempuan itu menaikan suaranya.

Matahari semakin turun, disisinya berarakan gumpalan awan bersama langit yang mulai berpendar. Pantulan jingga terus menari-nari di riak sungai yang akan selalu menghiasi sore disini. Aku masih terdiam dan terduduk lemas. Sesaat perempuan itu menyodorkan dompet berwarna biru. ”Ini yang ia titipkan untukmu sebelum masa itu datang.”

Mataku serasa tak percaya, dompet ini akrab sekali. Dompet biru khas perempuan itu masih sangat bagus dan terawat. ”Aku selalu menunggu waktu yang tepat untuk menyerahkan ini padamu, aku juga merasa kebingungan apa yang harus kulakukan untuk menyampaian semua yang telah terjadi pada dia. Melan memang terlalu sayang padamu, sampai datang para malaikat memisahkan ruh dan jasadnya, selalu saja namamu diucapkannya.” sebutir air jatuh dari kelopok mata perempuan itu, tanganya meremas cup capucino hingga isi dalamnya keluar.

Setiap saat ketika Melan sadarkan diri, cerita tentangmu selalu menjadi pokok bahasan yang terlalu sering kudengar. Panji itu nama kecilmukan, Melan juga yang selalu mengatakanya padaku. Kau tak suka dipanggil Putera olehnya, walau namamu sebenarnya ada suku kata Putera.” dengan sedikit tawa kecil perempuan itu menatapku.

Mungkin sore ini aku hanya bisa terdiam, ”Dompet itu merupakan hadiah ulang tahun yang kau hadiahkan pada Melan tepat sehari sebelum ia pergi, dan aku yang mengantarkanya pada Melan karena dompet itu kau kirim melalui jasa pengiriman yang dialamatkan ke kost.”

Kau mau tau reaksinya melihat hadiah darimu?” lanjut perempuan itu sembari meletakan bungkus kentang goreng dan cup capucino di bawah bangku. Hanya anggukan yang bisa kulakukan.

”Ternyata ia menepati janji untuk mencarikan dompet biru yang selalu kami ceritakan setiap malam waktu masih berbeda kota dulu, dia benar-benar menepati janjinya. Begitulah kata-kata yang ia ucapkan ketika membuka hadiah darimu.”

Akupun tahu kalau pelataran benteng ini adalah tempat yang selalu kau dan dia datangi ketika ingin menikmati sore dan ketika magrib datang, masjid Agung adalah tempat yang dulu sering kalian datangi untuk menunaikan kewajiban, dan tempat itu juga yang pernah menjadi rencana untuk sebuah janji dalam ikatan pernikahan kalian. Aku mengetahui semuanya dari Melan.” Ia kemudian melirik jam tangannya. Raut wajahnya nampak terkejut sama seperti saat itu. Dengan cekatan ia segera merapikan dirinya kembali, kemudian berdiri dan berkata; “Maaf, saya harus segera kembali, ada tulisan yang belum saya kerjakan.” katanya sambil mengulurkan tangan.

Saya tak pernah menyesali ketika semuanya terjadi, sebaliknya saya mulai berfikir kalau saja waktu itu tidak bertemu dengan dia, mungkin tidak akan seperti sekarang. Melan lah yang membawaku untuk mau melanjutkan pekerjaan sebagai seorang reporter sekaligus penulis cerita bersambung di koran yang telah membawaku seperti hari ini.” dengan masih terdiam dan memandangi dompet biru, aku meraih tangan perempuan itu. ”Oh ya,..namaku Violent, nama itu juga pemberian Melan padaku, katanya cocok untuk nama penaku dan seperti warna yang selalu ia nantikan ketika memandang angkasa.” perempuan itu kemudian berlalu meninggalkanku yang masih duduk di bangku pelataran benteng.

Soreku mungkin sedikit lebih baik dari kemarin atau seminggu, bahkan sebulan yang lalu,..soreku kali ini tak menyisahkan tanda tanya dalam hati,..Melan.***





Tidak ada komentar: